Kamis, 19 Maret 2009

BEBERAPA KIDUNG

1. PURWA KANING
Purwa kaning angrip tarum
Ningwana ukir kehadang labuh
Kartika panedengin sari
Angayon tangguli ketur
Angringring jangge mure

Sukanya arja winangun
Winarna sari sampuning riris
Sumahur ingoling tangi
Rumrumning puspa priyaka
Munggwing srenganing rejeng


2. IDA RATU
Ida Ratu raking luwur
Kahula nunas lugrane
Mangda sampun titiang tandruh
Mengayat bhatara mangkin
Tityang ngaturan pejati
Canang suci lan daksina
Sarwa sampun puput
Pretingkahing saji


3. PANGREDANA
Pangredana ne keluwur
Maka pengundang Dewane
Asep menyan majegahu
Ambunnyane merik sumirik
Cenana pada mesanding
Pemendak Ida Bhetara
Anggenne diluwur
Ngaran Tiga Sakti
4. ASEP MENYAN
Asep menyan majagahu
Cenana nuwur Dewane
Mangda Ida gelis rawuh
Mijil saking lwuring langit
Sampun medabdaban sami
Maring giri meru reko
Ancangan sadulur
Sami pada ngiring



5. PUJA WALI
Puja waline ke hatur
Jalaran upa karena
Wargasari anggen nuntun
Daksina lan kukus wangi
Tetep upakara sami
Katur ring Ida Bhetara
Suweca Ida turun
Kawula sami mengasti



6. WINARNA
Winarna sirengkul petak
Haneng andekasa punanga srambi
Sidetapa sakang ginung
Siwasudha sridanta lungesira
Ngambara marga ngelayung
Mahyun marek ring Bhetara
Oryeng giri tohlangkir





7. TURUN TIRTHA
Turun tirtha saking luhur
Pemangkune manyiratan
Mekalangan muncrat mumbul
Mapan tirta amerta jati
Pahican Bhatara sami
Panglukatan dasa mala
Mangda sida lebur
Malene ring bumi



8. PENGAKSAMA
Pengaksame ne keluwur
Manunas wara nugrahene
Menawi kirang nekehatur
Agung sinempura ugi
Canange asebit sari
Mangda sweca Ida nonton
Nodya saking luwur
Mamuputan sami



9. PEMARGINE
Pemargine bamban alus
Medal ida ngejabeyang
Tedung jenglar tedung agung
Tamyang kulem lan pengawin
Tunggul sadu bilang samping
Suwaran gambelane muntab
Sampun maider ping telu
Ring panggung Ida melinggih




10. MEDAL MARING
Medal maring gedong agung
Merik sumirik gandene
Gedong menyan gedong madu
Ukir lawang ane
Mapin da lembumas anulu
Apit lawang singa wilis
Sina ib pajeng robrob
Tuwek payung pagut
Nemakta widya sari



11. TEDUN IDA
Tedun Ida saking tajuk
Malinggih ring daksinane
Daksina sampun kinajum
Masekar busana becik
Damuhe pada pengampil
Lanang wadon sami girang
Upecara tedun
Presadeg ngeriyinnin



12. PUPUH JERUM
Kidung pengundang ring Bhuta
Basa lumbrah pupuh jerum
Bhuta asih wydhi asung
Caru pesaji ne reko
Genep saha upe kara
Manut warna lawan ungguh
Sekul iwak pada bina
Olah olahan sadulur



13. JERUM II
Pengideran penguripan
Kangin panca putih mulus
Kelod siya barak mungguh
Kauh kuning pitu anggon
Kaja selem urip papat
Manca warna tengah brumbun
Akutus panguripaniya
Babhutane manut ungguh



14. JERUM III
Kaja kangin urip nenem
Yan ring warna rupa klawu
Kelod kangin urip kutus
Nasak gedang warna kawot
Kelod kauh warna kwanta
Panguripniya tetelu
Kaja kauh warna gadang
Jati tunggal urip ipun

Minggu, 15 Maret 2009

HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN

Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wukunya Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara, di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan ada di Indonesia, terutama di Jawa dan di di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kindung panji Amalat Rasma. Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama, Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan: ngawit, Bu, Ka, Dungulan Sasia Kacatur, tanggal 15, Isaka 804. Bangun Indria Buwana Ikang Bali Rajya.
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu secara meriah. Setelah Galungan itu dirayakan, tiba-tiba – entah apa dasar pertimbangannya – pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan. Selama Galunan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan yang sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar itu menyatakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek, peyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Saat melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti pawisik itu Dewi Durgha minta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon seperti tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu, disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Bhuta Kala) dari diri manusia dan lingkungan. Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu.

MAKNA FILOSOFIS GALUNGAN
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecenderungan keraksaan (asura sampad) dan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual akan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapa.
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terhindar dari segala kekacauan pikiran.
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersama dengan yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakekat Galungan adalah merayakan menang adharma.
Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar, Sugihan Jawa bermakna (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari sugihan Jawa itu merupakan Pasucian Dewa Kalinggania (penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan uapcara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista rata tawulan (oleh karenanya mereka masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata Bali dalam bahasa Sansekerta berarti dalam diri. Dan itulah yang disucikan.
Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena ia dianjurkan anyekung jnana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi”. Pada hari Anggara Wage wuku Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri kita.
Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis Wuku Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melalui dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dan meninggalkan anugrah berupa kedirghayusan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan mereka dan matirta gocara. Upacara tersebut bermakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebut dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malani kekotoran pikiran. Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksanakan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari atau tengah hari pada Dewata dan Dewa Pitara “diceritakan” kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).
Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya.

MACAM-MACAM GALUNGAN
Meskipun Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal dengan sebutan yaitu Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Galungan adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan keterangan adharma. Dalam lontar Sundarigama disebutkan “Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan”. Artinya, Galungan itu dirayakan wuku Dungulan. Jadi Galungan itu, dirayakan setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Wara dan Wuku. Kala Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan Wukunya Dungulan, saat bertemunya hari Raya Galungan.
Galungan Nadi, galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (Purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang jatuh pada bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah dan keyakinan bahwa hari purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan Purnama disebut Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.
Galungan Nara Mangsa, jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam Lontar Sundarigama yaitu sebagai berikut:
‘Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa”.
Artinya:
Bila wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih kesembilan Galungan Nara Mangsa namanya. Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama.
Nihan bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma hywa lali elingakna. Yan tekaning sasih kapitu mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yang mengkana. Tan mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9, tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngara Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yadnya manurun denira Balagadabah.
Artinya:
Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan. Demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalem (maksudnya bila oleh Balagadabah).
Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan “Dewa Mauneb bhuta turun” yang (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan Raksasa, pemakan daging, pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilangsungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak “tumpeng Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan.
Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Pelaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan dengan yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara adharma melawan dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.

GALUNGAN DI INDIA
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga. Bahkan kemungkinan besar, perayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata “Wijaya” (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “menang”.
Hari raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti perayaan Wijaya Dasani juga dilakukan Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan. Pada hari kesepuluh barulah Wijaya Dasani atau Dasara. Wijaya Dasani lebih menekan pada rasa kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan Wijaya Dasani dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewa mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksaas yang amat sakti, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik diyakini dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang sesungguhnya kesaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali, kata sakti sering diartikan sebagai kata angker, seram, sangat menakutkan.
Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.
Sedangkan upacara Wijaya Dasani pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh umat merayakan Wijaya Dasani atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Dimana-mana sebagai lambang kemenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Supla dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan dimana sudah ada memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.
Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah ada. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasani yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemeran Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan dari hari raya Wijaya Dasani adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan kekuatan yang harus dicapai oleh manusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjadi saat bahagia lahir batin.
Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. kalau kebahagiaan dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdimensi ritual dan spirit.

Selasa, 10 Maret 2009

Cerita Rakyat Bali : "Satua I PUCUNG"

Kacrita di Banjar Kawan, wewenangkon Koripan ada anak pacul ngelah pianak muani adiri madan I Pucung. Gegaenne I Pucung sing lenan teken mapikat dogen di umane, nanging ke nyalah utu pesan tangkepne mapikat, di masan padine mara embud. Dadi sing pesan kone ia taen maan kedis, dening tusing ada kedis ngalih amah, krana padine nu puyung. Dening keto, med kone ia mapikat. Jani demen kone ia teken kuluk. Nanging masih keto, sabilang nagih ngidih konyong sig pisaganne begbeg konyong ane mara lekad dogen nagih idiha. Dening konyongne ane nagih idiha nu cerik buina tonden ngedat, kadena konyongne ento buta, dadi buung dogen ia ngidih konyong. Dening keto undukne I Pucung gedeg kone ia, dening makejang kehenne tuara ada misi. Uli sekat ento tusing pesan kone ia taen kija-kija buin, begbeg nyingkrung dogen jumahne. Ping kuda-kuda kaden suba bapanne nglemekin, apanga ia nulungin ka carik, nanging masih ia tusing nyak. Dening keto gedeg kone bapanne, nanging ia tusing bani nigtig wiadin ngwelin I Pucung, krana ia suba kelih. Depina dogen kona ie jani pragat nengnenga dogenan.
Makelo-kelo demen kone ia tekan anak luh, nanging gede kone kenehne, nget putran Ida Sang Prabu Koripan kone demenina. Budi morahan teken bapanne sing kone ia juari, dening ia suba ngasen teken dewek gedeganga. Dadi ibuk pesan kehenne I Pucung ngenehang Ida Raden Galuh, mabudi ngalih ka puri tusing bani. Jani ngae kone ia daya, mangdena ia nyidaang makatang Raden Galuh.
Sedek dina anu, ka puri kone ia tangkil ring Ida Sang Prabu. Di mara ia neked di bancingah, ada kone parekan tepukina ditu lantas ia ngomong, “Ih jero parekan, nawegang tiang nunas tulung ring jerone, wekasang tiang ngapuriang, aturang jagi tangkil ring Ida Sang Prabu!”
Masaut parekane, “Inggih mangda becik antuk tiang ngaturang ring Ida Sang Prabu, jerone sapasira?”
“Aturang titiang I Pucung saking Bnajar Kawan!” Majalan lantas parekane ento ngapuriang matur ring Ida Sang Prabu, “Nawegang titiang mamitang lugra ring Palungguh Cokor I Dewa, puniki wenten kaulan Palungguh Cokor I Dewa saking Banjar Kawan, ipun jagi tangkil ring Palungguh Cokor I Dewa.” Ngandika Ida Sang Prabu, “I Pucung ento apa kone ada buatanga ia tekan nira?”
“Matur sisip tiang Ratu Dewa Agung, antuk punika tan wenten titiang uning.”
“Nah lamun keto, tunden suba ia mai!” Ngajabaang lantas parekane ngorahin I Pucung tundena ngapuriang. Majalan lantas I Pucung ngapuriang. Sasubanne neked ditu, lantas ia mamitan lugra ring Ida Sang Prabu.
“Ih to iba Pucung, apa ada buatang iba mai?”
Matur I Pucung, “Inggih matur sisip titiang Ratu dewa Agung, wenten tunasang titiang ring Cokor I Dewa.”
“Nah apa Pucung?”
“Inggih sapunapi awinan ipun pantune sane wau embud dados ipun puyung, kalih asune wau lekad dados ipun buta?”
Ngandika Ida Sang Parbu, “ento kenken nyen kaden nira awinanne, nira sing pesan nawang. Men yan cai, kenken awananne dadi keto?”
“Antuk punika tan kamanah antuk titiang. Nanging yang banggayang Cokor I Dewa asapunika kewanten, kamanahan antuk titiang gelis jaga rusak jagat druene.”
“Men jani kenken baan madaya, mangdene gumine tusing uug?”
“Inggih yan manah titiang saking tambet, becik mangkin karyanang banten peneduh aturang ring Ida Betara Dalem. Manawi wenten kasisipan Palungguh Cokor I Dewa, mangda sampunang Ida Betara banget menggah pamiduka.”
“Nah lamun keto ja keneh caine, kema tegarang neduh ka pura Dalem. Sing ada kapo pakayunan Ida Betara teken nira, nira lakar ngiring dogenan. Nah antiang dini malu akejep, nira nu nunden panyeroane ngae banten. Apang nyidaang maturan dinane jani, kadonga jani tumpek. Yan suba pragat bantene, cai men ngaturang ajak I Mangku Dalam ka Pura!”
“Inggih,” keto aturne I Pucung.
Gelisang satua, sasubane pragat bantene, majalan lantas I Pucung nyuun banten, ngojog kumah pamangkune.
“Jero Mangku, Jero Mangku, tiang nikaanga mriki ring Ida Sang Prabu, ring pura Dalem. Samalahipun banten puniki jerone kandikaang makta ka pura. Tiang mapamit dumun abosbos jaga kayeh,” aketo baana melog-melog Jero Mangku teken I Pucung, lantas ia ngenggalang ke pura Dalem tur ngenggalang macelep sig gedonge ane tanggu kelod. Sawatara ada suba apanginangan ia nongos ditu, rauh lantas Jero Mangku makta banten tur ngojog sig jalan I Pucungne ngoyong. Ditu lantas Jero Mangku ngaturang banten tur nunas teken Ida Betara mangdene gumine di Koripan karahayuan.
Sasubanne Jero Mangku suud ngantebang, ngomong lantas I Pucung uli jumahan gedonge. Mapi-mapi ia dadi Betara, kene kone munyinne, “Ih iba Bapa Mangku, nyen nunden iba mai maturan, nunas kaluputan teken nira?”
Masaur Jero Mangku, “Inggih titiang kandikaang antuk pramas Palungguh Betara, Ida Sang Prabu nunas kaluputan ring Palungguh Betara, dening pantune wau embud puyung kalih asune wau lekad ipun buta.”
Buin ngomong I Pucung, “Ih iba Bapa Mangku, nira ngiangin lakar kaluputan nanging yan Ida ngaturang okane Ida Raden Galuh.” Dening keto munyin I Pucunge kadena pangandikan Ida Betara, dadi budal lantas dane. Teked di jabaan purane mreren lantas dane di batan punyan bingine, sambilanga dane ngantiang I Pucung.
Buin akejepne pesu lantas I Pucung uli gedonge tur jagjagina Jero Mangku lantas ia matakon, “Men, sapunapi Jero Mangku, wenten minab wacanan Ida Betara?”
“Nah melah suba cai ka puri ngaturang teken Ida Sang Prabu pangandikan Ida Betara. Bapa sing ja bareng kema, reh jumah ada tamiu ngantiang.” Dening keto pangandikan Jero Mangku, dadi kendel pesan I Pucung, dening guguna pamunyin gelahne teken Jero Mangku, tur lantas ia majalan ngapuriang.
Sasubanne I Pucung nganteg di purian, ngandika raris Ida Sang Prabu, “Men kenken Pucung, ada pawecanan Ida Betara tekening iba, tegarang tuturang apang nira nawang?”
Matur I Pucung, “Inggih wenten Ratu Dewa Agung. Asapuniki wewacan Ida Betara ring titiang. Ih iba Pucung, kema aturang wecanan gelahe teken gustin ibane buatne nira ledang lakara ngicenin Ida kaluputan, mangdene gumine karahayuan, nanging yan Ida kayun ngaturang okane, Ida Raden Galuh teken nira. Asapunika pangandikan Ida Betara ring titiang. Inggih sane mangkin asapunapi pakayunan Palungguh Cokor I Dewa, dening asapunika pakayunan Ida Betara?”
“Nah yan keto pakayunan Ida Betara, anake buka nira sing ja bani tulak teken pakayunan idane. Sakewala gumine karahayuan, nira dong ngaturang dogen. Da buin mara abesik panak nirane karsaanga, kadong makadadua, nira lakar ngaturang.” Ditu ngendelang dogen kenehne I Pucung dening lakar kaisinan idepne nganggon Raden Galuh kurenan.
Matur buin I Pucung, “Inggih yan asapunika pakayunan Palungguh Cokor I Dewa, margi rahinane mangkin ratu, aturang Ida, anak Cokor I Dewa ring Ida Betara mangda gelis Ida rauh, titiang ja ngiringang Ida, jaga aturang titiang ring Ida Betara Dalem.” Ditu lantas Ida Sang Prabu ngandikain parekane ngandikaang ngaturin okane lanang Ida Raden Mantri, kandikaang ngapuriang. Ida Raden Mantri sedek kone di jabaan. Majalan lantas i parekan ka jabaan ngaturin Ida Raden Mantri. Ida Raden Mantri raris ngapuriang tangkil ring ajine.
Ngandika Ida Sang Prabu, “Cening Bagus, nah ne jani bapa ngorahin cening, buate arin ceninge karsaanga tekan Ida Betara Dalem. Bapa ngaturang i anak Galuh teken Ida Betara, dening bapa tuara bani tekening anak tuara ngenah, buina pang gumine karahayuan. Yan bapa tusing ngaturang i anak Galuh, pedas rusak gumine. Men cening kenken kayune?”
Matur Ida Raden Mantri, “Inggih yan sampun asapunika pakayunan Gur Aji, titiang tan panjang atur malih. Ledang te pakayunan Guru Aji kewanten.”
Dening aketo aturne Raden Mantri, lantas I Patih kandikaang nuunang peti lakar genah I Raden Galuh. Sasubanne Ida Raden Galuh magenah di petine, lantas petina kancinga tur seregne tegulanga di duur petine.
Ngandika Ida Sang Prabu, “Ih iba Pucung, nah ne suba pragat i anak Galuh mwadah peti, kema suba tegen petine aba ka pura Dalem aturang i anak Galuh teken Ida Betara. Ne serege di duur petine mategul. Da pesan iba nyemak serege ne, depin dogen dini, setonden ibane nganteg di pura. Buin ingetang pabesen nirane, singa iba Makita manjur nyen di jalan pejang petine di duur pundukanne tur seregne depang masih ditu mategul.”
“Inggih,” keto aturne I Pucung tur lantas ia majalan negen petine misi Ida Raden Galuh.
Beh magregotan kone ia negen petine ento. Ban kendelne bes sanget lakar maan kurenan okan Ida Sang Prabu, dadi sing kone asena baat. Di jalan nepukin lantas ia tukad ditu ia mreren di duur tukade, dening ia makita manjus. Petine pejanga kone di duur pundukane tur seregne depina masih ditu. Di makirenne ia tuun lakar kayeh, matur kone ia teken Raden galuh, “Ratu Raden Galuh Cokor I dewa driki tumun, kenakang kayune driki. Titiang ngaonin Cokor I Dewa ajebos, titiang jaga tuunan manjus, dening ongkeb pesan tan dugi antuk titiang naanang kebuse.” Dening Ida Raden Galuh mwadah peti dadi sing kone pirenga atur I Pucunge.
Suud I Pucung matur keto, tuunan lantas ia ka tukade kayeh baan klangenne maan yeh ning. Ditu rauh lantas Ida Raden Mantri sameton Ida Raden Galun nandan macan pacang anggen Ida ngentosin sametone. Sasubane Ida Raden Mantri rauh sih tongos petine ento, ngelisang raris Ida Raden Mantri nyereg petine tur kamedalang arine. Sasubanne Ida Raden Galuh medal, jani macane kone celepang Ida tur kakancing, seregne buin kone dudur petine genahang Ida. Ngelisang raris Ida Raden mantri malaib sareng Ida Raden Galuh budal ka Koripan. Buat isin petine kasilurin tusing kone tawanga teken I Pucung.
Sasubanne ia suud kayeh lantas ia menekan. Teked ba duuran dingeha kone krasak-krosok di tengah petine. Ngomong lantas I Pucung, “Inggih Ratu Raden Galuh, menggah menawi Cokor I Dewa dados krasak-krosok wau kaonin titiang manjus. Margi mangkin Cokor I Dewa budal kumah titiange, drika mangkin Cokor I Dewa mlinggih sareng titiang. Cokor I Dewa pacang anggen titiang kurenan. Samalihipun titiang sampun ngadianang Cokor I Dewa who-wohan luir ipun: buluan, salak, croring, miwah manggis. Pacang rayuan Palungguh Cokor I Dewa sampun wenten jumah titiang kagianang antuk panyeroan Palungguh Cokor I Dewa, tiang maderbe meme. Sampunang te kenten menggah Cokor I Dewa, mangkin iringa ja Cokor I Dewa budal.”
Gelisang satua majalan lantas ia I Pucung ngamulihang negen petine. Sasubanne neked jumahne, kauk-kauk lantas I Pucung ngaukin memenne, “Meme, Meme, ampakin tiang jlanan, tiang ngiring Ida Raden Galuh mulih. Tiang anak suba icena nunas Ida Raden Galuh teken Ida Sang Prabu. Matelahtelah men meme ditu jumahan icange apang kedas, krana tiang lakas nglinggihang Ida ditu, uli semengan Ida tonden ngrayunang.” Memenne tusing ja ia nawang keneh panakne, selegagan kone mara ia ningeh pamunyin panakne buka keto. Dadi ampakina dogen jlanan tur I Pucung ngenggalang macelep kumah meten, tur lantas ia ngancing jlanan uli jumahan petine pejanga kone di pasareane.
Critayang jani suba tengah lemeng tur meme bapanne suba melah pulesne pada, ditu lantas ia buing ngomong ngrumrum isin petine, “Inggih Ratu Raden Galuh, matangi Cokor I Dewa, niki sampun wengi, mriki mangkin Palungguh Cokor I Dewa merem sareng titiang!” Suud ia ngomong keto, lantas petine ento serega tur ungkabanga. Mara petine ento ungkabanga, tengkejut pesan I Pucung dening petine misi macam. Ditu lantas I Pucung sarapa teken macane. Mati lantas I Pucung.
Buin mani semenganne, dunduna lantas ia teken memenne uli diwangan, dening suba tengai ia tonden bangun. Kadena panakne sajaan ngajak Raden Galuh. Kanti ping telu kone memenne makaukan, masih sing kone sautine, lantas tinjaka kone jlananne. Ya mara mampakan jlanane, ya magroeng lantas macane jumahan. Beh apa kaden tengkejut memenne tur ia buin ngenggalang ngubetang jlanan. Ditu lantas ia gelur-gelur ngidih tulungan teken pisagane ditu. Liu pada anake nyagjagin ia tur makejang pada ngaba sikep. Ditu matianga lantas macane totonan. Sasubanne I Macan mati, mulihan lantas memenne, dapetanga panakne suba mati tur nu tulang-tulangne dogen.

SATUA BALI : "PANGANGON BEBEK"

Ada katuturan satua pangangon bebek madan Pan Meri. Sangkal ia madan Pan Meri, kerana dugase i malu ia liu gati ngelah memeri utawi panak bebek. Sakewala lacur tusing dadi kelidin, panyatakan merine mati kena gering. Enu kone masisa buin aukud sada merine ento ane paling bengil tur berag. Ento jani kapiara baan Pan Meri. Semengan nyanjaang epot Pan Meri ngenang amah-amahan merine bengil ento. Di kengkene ka telabahe abana masileman apang nyak kedasan goban merine buin abedik.

Merine bengil ento masih jemet pesan teken Pan Meri. Yening Pan Meri nuju ngarit jeg nutug di durine sambila munyi kwek….kwek…. kwek….! Bagia atine Pan Meri ngelah ubuhan jemet buka keto. Diastun tuah aukud turin bengil sakewala mawiguna pesan marep Pan Meri.

Kacerita galahe suba sanja. Pan Meri lakar ngemaang amah merine Pan Meri lantas ngaukin ri…ri….ri…ri…! Nanging merine tuara ada. Sengap paling Pan Meri mengalihin kema mai masih tuara tepukina. Pan Meri lantas nuluh telabah ngalihin sambila mangaukin, naler masih tuara ada. Kanti suba sandikala Pan Meri ngalihin tusing masih tepukina merine.

“Uduh….Dewa ratu. Dija ya merin titiange. Dadi bisa tusing ada, kija lakuna malali. Len suba sandikaon buin kejep dogen suba peteng sinah lakar tusing tepuk apa!” Uyang paling kone Pan Meri sada sedih merine tuara tepuka.

Saget nangked kone Pan Meri di tanggun telabahe beten punyan asem, ada batu gede. Ditu kocap tongose tenget tur pingit. Sedek bengong Pan Meri, jeg teka anak gede selem, siteng tur tangkahne mabulu. Paliatne nelik tur gigine rangap macaling. Pan Meri kesiab takut nagih malaib sakewala batisne lemet awakne ngetor. Anake gede selem ento maakin Pan Meri.
“Suba sandikaon adi enu masih kema mai. Apa kalih dini, Pan Meri?” keto omongne I gede selem.
Ngejer Pan Meri nyautin, “Icang ngalih merin icange. Suba sanja konden mulih. Pedalem, icang ngelah meri tuah aukud!”
“Ooh…keto. Mula saja tuni sanjane ada meri mai ngelangi. Nah jani jemakanga ja, antiang dini!”
I gede selem maselieb ka durin batune. Pan Meri mara ningeh keto prajani ilang takutne. Kendel atine buin bakata merine. Suba keto teka I gede selem ngaba meri, bulune alus awakne kedas tur jangih pesan munyine.
“ene merine, Pan Meri?”
“Tidong, meri icange anak bengil!”
Buin I gede selem mesuang meri. Jani merine mokoh tur kedas nyalang. Yen adep sinah bakal maal payu.
“Ane ene merine?”
“Tidong, meri icange berag tur bengil!”
Kacarita suba liu pesan I gede selem mesuang memeri. Sakewala Pan Meri setata ngorahang tidong, kerana mula saja merine makejang ento tidong merine Pan Meri. Suba keto I gede selem buin ngomong.
“Beh…adi makejang tidong. Lamun keto aba suba makejang merine ento!”
“Aduh…, icang tusing bani, ento tusing icang ngelah. Meri icange tuah aukud, berag tur bengil!” masaut Pan Meri.

“Ne mara jadma patut. Tumben jani kai nepuk jadma buka Pan Meri. Eda takut…, merine bengil ento mula kai ane ngaba. Nah.., duaning Pan Meri maparisolah sane patut tur tusing loba, kai jani ngemaang meri buin aukud. Melahang ngubuh apang bisa nekaang hasil. Ne jani aba merine mulih!”

Tan sipi kendelne Pan Meri nepukin merine mulih. Mare keto saget I gede selem ilang tur di samping batune gede ada meri buin aukud. Pan Meri ngaturang suksma tur nglantas mulih ngaba meri dadua.

Kacerita meri Pan Meri suba mataluh makelo-kelo mapianak. Liu pesan jani Pan Meri ngelah meri. Ia jani dadi sugih ulian madagang memeri. Keto yening dadi jadma maparisolah utawi malaksana patut, tusing loba cara Pan Meri, sinah kapaica wara nugrah sane nekaang bagia.

CERITA RAKYAT BALI : "Kura-Kura dan Angsa"

Ada sepasang Kura-Kura dan Angsa yang hidup di sebuah telaga yang bernama telaga Kumudawati. Telaga itu sangat indah serta banyak bunga-bunga berwarna-warni yang tumbuh di sana. Kura-kura yang jantan bernama Durbhuddhi dan yang betina bernama Katcapa. Angsa yang jantan bernama Cakrengga dan yang betina bernama Cakrenggi. Kedua pasang binatang itu sudah lama bersahabat.

Musim kemarau telah tiba, di telaga telah mulai mengering. Kedua angsa akan berpamitan dengan sahabatnya karena angsa tidak bisa hidup tanpa air, maka kami akan meninggalkan telaga Kumdawati ini menuju telaga Manasasaro di pegnungan Himalaya. Kura-kura tidak bisa melepaskan kepergian kedua sahabatnya itu.

Akhirnya kura-kura memutuskan untuk ikut bersama dengan angsa. Angsa kemudian mau mengajak kura-kura pergi bersama dengan dirinya yaitu dengan cara kura-kura menggigit tengah-tengah kayu dan angsa yang akan memegang ujung-jungnya. Tetapi dengan persyaratan jangan lengah, janganlah sekali-kali berbicara dan jangan melihat di bawah atau jika ada orang yang bertanya jangan sekali menjawab. Kura-kura lalu berpegangan di tengah-tengah kayu dengan mulutnya, sedangkan kedua ujung-ujungnya dipegang oleh angsa.

Setelah tepat berada di tanah lapang Wila Jenggala ada sepasang anjing srigala yang berlindung di bawah pohon mangga yang jantan bernama Si Nohan dan yang betina Si Bayan. Srigala betina melihat ke atas dilihatnya angsa terbang membawa sepasang kura-kura lalu Srigala berkata pada suaminya, ayah cobalah lihat ke atas betapa aneh angsa terbang membawa sepasang kura-kura. Srigala jantan menjawab itu bukan kura-kura namun itu adalah kotoran sapi. Demikian omongan tersebut didengar oleh kura-kura, mendengar kura-kura dibilang kotoran sapi oleh Srigala, kura-kura lalu marah dan melepaskan gigitannya pada kayu dan akhirnya kura-kura itu jatuh dan dimakan oleh srigala. Angsa tinggal dengan perasaan kecewa dan menyayangkan kenapa kura-kura tidak mau mendengarkan nasehatnya.

Senin, 09 Maret 2009

CERITA RAKYAT BALI : "JAYAPRANA DAN LAYONSARI"

Dua orang suami istri bertempat tinggal di Desa Kalianget mempunyai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh karena ada wabah yang menimpa masyarakat desa itu, maka empat orang dari keluarga yang miskin ini meninggal dunia bersamaan. Tinggalan seorang laki-laki yang paling bungsu bernama I Jayaprana. Oleh karena orang yang terakhir ini keadaannya yatim piatu, maka ia puan memberanikan dirimengabdi di istana raja. Di istana, laki-laki itu sangat rajin, rajapun amat kasih sayang kepadanya.
Kini I Jayaprana baru berusia duabelas tahun. Ia sangat ganteng paras muka tampan dan senyumnya pun sangat manis menarik.
Beberapa tahun kemudian.
Pada suatu hari raja menitahkan I Jayaprana, supaya memilih seorang dayang-dayang yang ada di dalam istana atau gadis gadis yang ada di luar istana. Mula-mula I Jayaprana menolak titah baginda, dengan alasan bahwa dirinya masih kanak-kanak. Tetapi karena dipaksan oleh raja akhirnya I Jayaprana menurutinya. Ia pun melancong ke pasar yang ada di depan istana hendak melihat-lihat gadis yang lalu lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita. Gadis itu bernama Ni Layonsari, putra Jero Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.
Melihat gadis yang elok itu, I Jayaprana sangat terpikat hatinya dan pandangan matanya terus membuntuti lenggang gadis itu ke pasar, sebaliknya Ni Layonsari pun sangat hancur hatinya baru memandang pemuda ganteng yang sedang duduk-duduk di depan istana. Setelah gadis itu menyelinap di balik orang-orang yang ada di dalam pasar, maka I Jayaprana cepat-cepat kembali ke istana hendak melapor kehadapan Sri Baginda Raja. Laporan I Jayaprana diterima oleh baginda dan kemudian raja menulis sepucuk surat.
I Jayaprana dititahkan membawa sepucuk surat ke rumahnya Jero Bendesa. Tiada diceritakan di tengah jalan, maka I Jayaprana tiba di rumahnya Jero Bendesa. Ia menyerahkan surat yang dibawanya itu kepada Jero Bendesa dengan hormatnya. Jero Bendesa menerima terus langsung dibacanya dalam hati. Jero Bendesa sangat setuju apabila putrinya yaitu Ni Layonsari dikawinkan dengan I Jayaprana. Setelah ia menyampaikan isi hatinya “setuju” kepada I Jayaprana, lalu I Jayaprana memohon diri pulang kembali.
Di istana Raja sedang mengadakan sidang di pendopo. Tiba-tiba datanglah I Jayaprana menghadap pesanan Jero Bendesa kehadapan Sri Baginda Raja. Kemudian Raja mengumumkan pada sidang yang isinya antara lain: Bahwa nanti pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya I Jayaprana dengan Ni Layonsari. Dari itu raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk I Jayaprana.
Menjelang hari perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara gotong royong semuanya serba indah. Kini tiba hari upacara perkawinan I Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa, hendak memohon Ni Layonsari dengan alat upacara selengkapnya. Sri Baginda Raja sedang duduk di atas singgasana dihadap oleh para pegawai raja dan para perbekel baginda. Kemudian datanglah rombongan I Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu harus turun dari atas joli, terus langsung menyembah kehadapan Sri Baginda Raja dengan hormatnya melihat wajah Ni Layonsari, raja pun membisu tak dapat bersabda.
Setelah senja kedua mempelai itu lalu memohon diri akan kembal ke rumahnya meninggalkan sidang di paseban. Sepeninggal mereka itu, Sri Baginda lalu bersabda kepada para perbekel semuanya untuk meminta pertimbangan caranya memperdayakan I Jayaprana supaya ia mati. Istrinya yaitu Ni Layonsari supaya masuk ke istana dijadikan permaisuri baginda. Dikatakan apabila Ni Layonsari tidak dapat diperistri maka baginda akan mangkat karena kesedihan.
Mendengar sabda itu salah seorang perbekel lalu tampak ke depan hendak mengetengahkan pertimbangan, yang isinya antara lain: agar Sri Paduka Raja menitahkan I Jayaprana bersama rombongan pergi ke Celuk Terima, untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo menembak binatang yang ada di kawasan pengulan. Demikian isi pertimbangan salah seorang perbekel yang bernama I Saunggaling, yang telah disepakati oleh Sang Raja. Sekarang tersebutlah I Jayaprana yang sangat brebahagia hidupnya bersama istrinya. Tetapi baru tujuh hari lamanya mereka berbulan madu, datanglah seorang utusan raja ke rumahnya, yang maksudnya memanggil I Jayaprana supaya menghadap ke paseban. I Jayaprana segera pergi ke paseban menghadap Sri P aduka Raja bersama perbekel sekalian. Di paseban mereka dititahkan supaya besok pagi-pagi ke Celuk Terima untuk menyelidiki adanya perahu kandas dan kekacauan-kekacauan lainnya. Setelah senja, sidang pun bubar. I Jayaprana pulang kembali ia disambut oleh istrinya yang sangat dicintainya itu. I Jayaprana menerangkan hasil-hasil rapat di paseban kepada istrinya.
Hari sudah malam Ni Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia pun bangkit dari tempat tidurnya seraya menerangkan isi impiannya yang sangat mengerikan itu kepada I Jayaprana. Ia meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan berdasarkan alamat-alamat impiannya. Tetapi I Jayaprana tidak berani menolak perintah raja. Dikatakan bahwa kematian itu terletak di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Pagi-pagi I Jayaprana bersama rombongan berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan Ni Layonsari di rumahnya dalam kesedihan. Dalam perjalanan rombongan itu, I Jayaprana sering kali mendapat alamat yang buruk-buruk. Akhirnya mereka tiba di hutan Celuk Terima. I Jayaprana sudah meras dirinya akan dibinasakan kemudian I Saunggaling berkata kepada I Jayaprana sambil menyerahkan sepucuk surat. I Jayaprana menerima surat itu terus langsung dibaca dalam hati isinya:
“ Hai engkau Jayaprana
Manusia tiada berguna
Berjalan berjalanlah engkau
Akulah menyuruh membunuh kau

Dosamu sangat besar
Kau melampaui tingkah raja
Istrimu sungguh milik orang besar
Kuambil kujadikan istri raja

Serahkanlah jiwamu sekarang
Jangan engkau melawan
Layonsari jangan kau kenang
Kuperistri hingga akhir jaman.”

Demikianlah isi surat Sri Baginda Raja kepada I Jayaprana. Setelah I Jayaprana membaca surat itu lalu ia pun menangis tersedu-sedu sambil meratap. “Yah, oleh karena sudah dari titah baginda, hamba tiada menolak. Sungguh semula baginda menanam dan memelihara hambat tetapi kini baginda ingin mencabutnya, yah silakan. Hamba rela dibunuh demi kepentingan baginda, meski pun hamba tiada berdosa. Demikian ratapnya I Jayaprana seraya mencucurkan air mata. Selanjutnya I Jayaprana meminta kepada I Saunggaling supaya segera bersiap-siap menikamnya. Setelah I Saunggaling mempermaklumkan kepada I Jayaprana bahwa ia menuruti apa yang dititahkan oleh raja dengan hati yang berat dan sedih ia menancapkan kerisnya pada lambung kirinya I Jayaprana. Darah menyembur harum semerbak baunya bersamaan dengan alamat yang aneh-aneh di angkasa dan di bumi seperti: gempa bumi, angin topan, hujan bunga, teja membangun dan sebagainya.
Setelah mayat I Jayaprana itu dikubur, maka seluruh perbekel kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka sering mendapat bahaya maut. Diantara perbekel itu banyak yang mati. Ada yang mati karena diterkam harimau, ada juga dipagut ular. Berita tentang terbunuhnya I Jayaprana itu telah didengar oleh istrinya yaitu Ni Layonsari. Dari itu ia segera menghunus keris dan menikan dirinya. Demikianlah isi singkat cerita dua orang muda mudi itu yang baru saja berbulan madu atas cinta murninya akan tetapi mendapat halangan dari seorang raja dan akhirnya bersama-sama meninggal dunia.

Senin, 02 Maret 2009

MEMESAN TIKET HOTEL DI BALI

Bagi wisatawan yang hendak berkunjung ke Bali, anda dapat memesan tiket melalui situs ini dengan mudah dan cepat. Silakan gunakan form berikut untuk mendapatkan hotel yang tepat bagi anda.






Semoga anda mendapatkan pilihan yang tepat bagi Anda dan keluarga, teman, clien, dan semua kerabat Anda.