Rabu, 24 Februari 2010

DINAMIKA SENI BUDAYA PARIWISATA BALI


Dinamika Seni Pertujukan Bali dalam Konteks Pariwisata Budaya
Secara umum seni pertunjukan Bali dapat dikatagorikan menjadi tiga: wali (seni pertunjukan sakral) yang hanya dilakukan saat ritual pemujaan; bebali pertunjukan yang diperuntukan untuk upacara tetapi juga untuk pengunjung; dan balih-balihan yang sifatnya untuk hiburan belaka di tempat-tempat umum. Pengkatagorian ini ditegaskan pada tahun 1971 oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (LISTIBIYA) Bali sebagai respon dari semakin merambahnya pertunjukan untuk pariwisata ke seni-seni yang sifatnya sakral. Pertemuan ini merekomendasikan agar kesenian yang sifatnya wali dan bebali tidak dikomesialkan. Bandem dan de Boer dalam bukunya Kaja and Kelod: Balinese Dance in Transition secara rinci mengklasifikasi berbagai seni pertunjukan yang ada di Bali hingga awal tahun 1980-an. Tergolong ke dalam wali misalnya: Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede; bebali seperti: Gambuh, Topeng Pajegan, Wayang Wong; dan balih-balihan diantaranya: Legong, Parwa, Arja, Prembon, dan Joged.
Penulisan secara seksama tentang Seni Pertunjukan Drama dan Tari Bali pertama dipublikasikan pada tahun 1938. Ironisnya, dan tentu tidak terlalu mengejutkan, bahwa buku ini ditulis oleh orang asing bernama Walter Spies dan Beryl de Zoete. Bukankah intervensi orang asing sudah merupakan bagian dari sejarah Bali pada umumnya? Walter Spies, peranakan Rusia-Jerman, adalah nama orang asing yang sangat terkenal di Bali. Ia datang dan menetap di Bali mulai 1927 hingga jaman pendudukan Jepeng di awal tahun 1940-an; seorang pemusik, pelukis, yang mempunyai minat yang sangat mendalam pada seni pertunjukan di Bali. Peranannya dalam awal-awal perkembangan pariwisata budaya Bali sudah tidak diragukan karena dia sangat dipercaya oleh orang asing yang datang ke Bali pada waktu itu untuk memberi pengalaman budaya, khususnya seni pertunjukan di Bali. Pertunjukan seni tradisional menjadi menu rutin bagi pengunjung di Jaman itu. Pementasan dilakukan di berbagai jaba pura (bagian luar pura) di berbagai desa di daerah sekitar ubud dan juga pementasan ke Bali Hotel milik maskapai pelayaran Belanda, KPM.
Bisa dibayangkan bahwa pertunjukan drama dan tari sering tidak sepenuhnya bisa dipahami oleh para wisatawan terutama karena faktor bahasa; disamping pada umumnya jadwal tour wisatawan yang padat. Karena itu intervensi dilakukan oleh agen perjalanan wisata agar pertunjukan bisa dipersingkat ke format yang lebih bisa dimengerti dan dinikmati oleh wisatawan. Genre-genre campuran mulai bermunculan yang mengkombinasikan genre satu dengan yang lain, misalnya Cak sebagai perpaduan cerita Ramayana dengan vokal dari Sang Hyang Dedari yang dilakukan oleh Spies dan seorang penari bernama Limbak; atau tari Barong dan Kris dengan cuplikan dari Mahabarata. Pertunjukan yang biasanya berdurasi satu jam. Disamping itu juga bermunculan tari-tari lepas (tari yang berdiri sendiri, tidak merupakan bagian dari drama); dan paket pementasan yang menggabungkan berbagai tari lepas dari genre topeng, baris, legong dan lainnya. Seni pertunjukan Bali yang sifatnya sakral biasanya memiliki nilai eksotisme dan magis sehingga dicari-cari oleh wisatawan. Ada ketergiuran para penyedia jasa pariwisata pun kemudian menawarkan paket-paket tiruan seni sakral tersebut. pertunjukan barong-rangda dengan unying (tari keris) adalah salah satu contoh klasik profanisasi yang terjadi (Lihat bandem dan deBoer, 1981:145-150).
Kiranya idealisme untuktidak mengkomersialkan tari wali dan bebali tidak bisa dijalankan sepenuhnya. Sekarang pertunjukan-pertunjukan untuk pariwista sudah mulai mempertontonkan imitasi tari Sag Hyang Dedari; Sang Hyang Jaran, Calonarang, dan sebagainya. Dan yang terakhir berkembang adalah istilah pertunjukan kemasan baru sebagai gabungan aspek prossi ritual dengan pagelaran berbagai jenis pertunjukan secara simultan seperti wayang, tari cak api, joged bungbung, dan pertunjukan selama makan malam berupa legong, beberapa tari lepas dan drama tari barong. Pertunjukan seperti ini kerap dilakukan dalam paket wisata puri (keraton) berupa royal dinner seperti yang dilakukan di puri Mengwi, Kerambitan dan ditiru oleh puri-puri lain. Hotel-hotel besar ketika menyelenggarakan konvensi atau gala dinner juga kerap memakai pertunjukan kemasan baru. Tekanan pasar untuk senantiasa menawarkan sesuatu yang baru akhirnya berpengaruh pada penciptaan jenis-jenis pertunjukan baru.





Dampak Pariwisata Budaya pada Seni Pertunjukan Tradisional
Disamping permasalahan komodifikasi dan penggerusan, masalah yang sering menjadi pembicaraan adalah kurangnya penghormatan atau apresiasi para penguasaha pariwisata terhadap para seniman tradisional. Disamping pembayaran yang diberi tergolong masih rendah seni pertunjukan sering diposisikan sebagai suatu pelengkap acara, biasanya makan malam di hotel/restoran. Seniman diberi fasilitas sekedarnya dan sering tidak diperkenalkan dengan semestinya. Bagaimana apresiasi mendalam bisa terjadi ketika perhatian penonton harus terbagi antara penyantap makanan dan menonton pertunjukan? Sudah menjadi rahasia umum bahwa di tempat-tempat pertunjukan pariwisata guide atau supir yang mengantar wisatawan mendapat komisi 25-50% dari harga tiket masuk. Demikian pula para makelar kesenian (perantara antara seniman dan pemesan) mengambil persentase yang tinggi dari harga yang ditawarkan sehingga upah yang diterima oleh seniman sangat minim. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya jumlah seniman/kelompok kesenian di Bali (supply yang tinggi), ditambah dengan rendahnya pengetahuan dan kemampuan manajerial kebanyakan seniman/kelompok seniman, dan karena faktor tradisi budaya ngayah (pertunjukan sebagai sebuah persembahan dan kepuasan batin) yang masih kental di kalangan penggiat seni. Posisi tawar para seniman di hadapan pengusaha pariwisata menjadi rendah, tercermin dengan adanya persaingan dalam menurunkan harga antara kelompok satu dengan yang lain.
Memang ada segelintir hotel dan tempat tontonan parisiwata yang berusaha memposisikan seni pertunjukan tradisional sebagai suatu yang istimewa kepada tamunya. Seniman yang ditampilkan adalah seniman yang berkualitas atau seniman-seniman ternama; pementasan dilakukan tidak pada saat makan; ada usaha-usaha untuk memberi informasi yang baik (pendidikan) kepada tamu; dan mereka bersedia memberi harga yang disodorkan seinman. Seniman-seniman yang sudah yakin dengan kualitasnya biasanya berani mematok harga; mereka mempunyai posisi tawar yang tinggi. Semua ini bisa terjadi tidak lepas dari adanya keberagaman jenis wisatawan yang datang. Ada wisatawan yang puas dengan sekedar melihat pertunjukan, ada juga yang mau melihat yang terbaik.
Ada usaha-usaha Pemda Bali melalui LISTIBIYA-nya untuk melindungi seniman dari eksploitasi dan sebaliknya memberi dukungan dan bimbingan kepada mereka agar menjaga atau malah meningkatkan kualitas. LISTIBIYA mengeluarkan semacam lisensi layak pentas untuk umum/pariwisata yang bernama Pramana Patram Budaya kepada kelompok-kelompok kesenian. Pemerintah terus menghimbau agar para pelaku usaha pariwisata memberi penghargaan yang lebih baik kepada seniman, baik secara finansial maupun perlakuan. SK Gubernur No.394 dan 305 tahun 1997 misalnya membuat patokan-patokan upah bagi berbagai jenis kelompok kesenian yang ada. Seberapa jauh implementasi dari upaya ini memang masih perlu ditelusuri. Penulis masih mengamati banyak pementasan yang dilakukan di hotel-hotel/restoran yang terkesan seadanya, dan membaca di media masa tentang keluhan kurangnya penghargaan praiwisata kepada para seniman. Barangkali pementasan yang rutin bisa jadi membuat sang penari mengalami kejenuhan, disamping ada anggapan bahwa wisatawan toh tidak bisa membedakan antara pertunjukan yang berkualitas dengan yang tidak.
Dampak positif pariwisata bisa dihubungkan dengan peningkatan kuantitas jenis kesenian dan jumlah seniman, dan umumnya peningkatan penghasilan. Para seniman berharap untuk dapat kesempatan pentas di hotel karena lebih sering atau rutin ketimbang pertunjukan untuk adat/upacara. Perlu diketahui bahwa seni pertunjukan tidak pernah lepas dari ritual-ritual yang dipercaya harus dilanjutkan. Ritual-ritual melibatkan beberapa bentuk pertunjukan seperti Sang Hyang, wayang lemah, topeng pajegan, pendet, berbagai jenis tari baris sakral; dan masih dalam konteks ritual tetapi juga untuk iburan seperti wayang kulit pada malam hari, calon arang, atau gambuh. Meningkatnya daya beli masyarakat secara umum memungkinkan desa adat atau banjar untuk membeli perangkat gamelan yang biasanya juga merangsang terbentuknya kelompok drama/tari.
Seorang seniman muda ternama di Bali (I Nyoman Budiarta dari Batuan-Gianyar) yang penulis sempat wawancarai memiliki pandangan yang berbeda dengan apa yang dikhawatirkan oleh para sarjana bahwa pariwisata menggerus kualitas kesenian tradisional. Pertunjukan yang rutin memberi kesempatan lebih banyak untuk berlatih sehingga menjadikan kesenian lebih kreatif dan bervariasi. Dia tidak mempermasalahkan misalnya pertunjukan yang dilakukan saat dinner karena percaya bahwa wisatawan otomatis akan lebih memperhatikan pementasan dari makanan bila pertunjukannya berkualitas. Letak permasalahan utama ada pada si seniman – apakah dia memang seniman yang berkualitas sehingga berani mematok harga atau seniman rata-rata yang mau dihargai rendah. Ia menyarankan memang perlu adanya fasilitator yang mempertemukan penguasaha pariwisata dengan seniman untuk berdialog: bahwa mereka saling membutuhkan. Pemerintah juga bisa memfasilitasi dengan membuat batasan-batasan atau rambu-rambu. Perihal tudingan bahwa telah terjadi profanisasi pertunjukan sakral dia menyarankan agar definisi sakral itu dipertegas. Menurutnya yang membuat sebuah kesenian sakral adalah ketika dilakukan untuk ritual lengkap dengan sarana upacara, banten. Dia tidak mempersalahkan kalau ada kesenian ritual yang dikemas menjadi tontonan pariwisata sejauh tidak melibatkan banten. Dia malah berpendapat bahwa seni-seni ritual atau klasik perlu dibuatkan tiruan agar tidak punah dan kalau perlu dikembangkan.
Seorang tokoh kesenian Bali generasi tua (I Gusti Agung Ngurah Supartha dari Tabanan) melihat memang terjadi penurunan kualitas atau nilai-nilai. Ini tidak terlepas dari perkembangan jaman yang semakin modern dimana banyak hal yang menyita perhatianbaik si seniman maupun masyarakat (penonton), ditambah lagi dengan berkembangnya sindrom cepat jadi, instan, tercermin pada keinginan murid-murid (termasuk orang tuanya) agar cepat bisa menari dan dipentaskan. Tantangan untuk seniman-seniman sekarang tidak seberat yang dulu. Jarang ada guru-guru yang mengajar sekeras dan seintesif dulu. Perubahan pada dinamika penonton juga berpengaruh pada penurunan kualitas. Di era sebelum tahun 1970-an seniman tertantang untuk mencapai potensi terbaiknya karena ada penonton-penonton yang datang untuk menguji. Kedekatan jarak antara penonton dan penari karena panggung yang kecil menciptakan kondisi untuk komunikasi saling apreaiasi, komunikas rasa mecingak. Sistim panggung sekarang yang memisahkan penari dengan penonton (terlebih lagi penayangan tari melalui TV) meniadakan proses mecingak tersebut.

Selasa, 23 Februari 2010

TAJEN DI BALI

Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, perjudian sabung ayam sudah dikenal dan cukup digemari sebagian masyarakat di beberapa daerah. Di Bali perjudian sabung ayam dikenal dengan istilah Tajen, yang berasal dari kata taji yang artinya benda tajam dan telah berkembang cukup mengakar di dalam kehidupan masyarakat Bali. Pada awalnya “Tajen” merupakan bagian dari acara ritual keagamaan tabuh rah atau prang sata dalam masyarakat Hindu Bali. Yang mana tabuh rah ini mempersyaratkan adanya darah yang menetes sebagai simbol / syarat menyucikan umat manusia dari ketamakan/ keserakahan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi. Tabuh rah juga bermakna sebagai upacara ritual buta yadnya yang mana darah yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya.
Sejalan dengan dinamika kehidupan sosial masyarakat Bali, telah terjadi pergeseran makna ritual dan bagian tabuh rah, yang mana makna tabuh rah atau prang sata telah dimanipulasi dan diterminologikan sebagai Tajen. Padahal bila dikaji, tabuh rah dan tajen merupakan suatu pengertian yang berbeda, namun pada kenyataannya tabuh rah dipakai tameng untuk menyelenggarakan tajen.

Ironisnya tajen ternyata mampu berperan sebagai medium interaksi dan komunikasi lintas strata sosial. Latar belakang status sosial menjadi cair dan kabur, masyarakat membaur dan melebur secara fisik dan emosional, semua pihak terfokus pada pertarungan kedua ayam adu. Bahkan tajen oleh masyarakat juga sudah dipandang sebagai salah satu bentuk hiburan dan permainan utnuk menghilangkan kejemuan dan kelelahan fisik setelah melakukan kegiatan berat.

Pada dekade belakangan ini posisi dan peran tajen semakin mengemuka dan seolah-olah mendapat legitimasi dari berbagai kalangan masyarakat. Beberapa oknum masyarakat beragurmentasi bahwa tajen yang digelar semata-mata ditujukan untuk kepentingan pembangunan atau pengembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat adat. Dari perspektif antropologi hukum fenomena sosial ini merupakan proses dekriminalisasi tajen sebagai perjudian. Meskipun ditinjau dari sudut agama khususnya agama Hindu, didalam kitab suci Wedha tidak ada satu ayatpun yang membenarkan adanya berbagai bentuk dan jenis kegiatan perjudian.

By:




Senin, 22 Februari 2010

MONUMEN NASIONAL TAMAN PUJAAN BANGSA MARGARANA


 


 

Monument Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana berlokasi di desa Marga. Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, berjarak lebih kurang 25 km dari Kota Denpasar kea rah barat laut. Didepan inilah terjadi peristiwa bersejarah "Puputan Margarana".


 


 

Di areal Monumen kita disabut oleh deretan panjang nama-nama pahlawan yang gugur 62 tahun silam ketika pasukan Ciung Wanara yang dikomandani oleh Let.Kol I Gusti Ngurah Rai yang berperang habis-habisan (puputan), ketika itu nyawa bukanlah sesuatu yang berharga bila dibandingkan dengan rasa nasionalisme mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kemudian perjalanan kami lanjutkan masuk ke dalam areal monumen, nampak monumen Pahlawan dari kejauhan, di samping timur dan barat terdapat 2 bale panjang yang cukup luas. Hamparan rumput yang menghijau dan luas di depan monumen sering di peruntukan sebagai tempat upacara Bendera. Cukup unik bentuk  arsitektur monument tersebut, dasarnya berupa segi 5 dan dimasing-masing sudut berisi gambar sila-sila dalam Pancasila, ini memberikan makna bahwa perjuangan yang dilakukan berdasarkan atas 5 nilai yang mendasari berdirinya Negara Republik Indonesia. Pada monumen juga  terdapat surat penolakan terhadap pendudukan Belanda di Bali yang masing-masing di pengggal menjadi 4 dan diletakkan di kempat sisi monumen. Nisan yang lebih besar dari nisan yang lainnya dan juga di hiasi lebih dari yang lainya adalah nisan Let. Kol I Gusti Ngurah Rai. Diantara jejeran nisan pahlawan tersebut ada juga yang berasal dari luar Bali dan bahkan ada yang dari Jepang. Lihatlah gambar di halaman berikutnya.


 


 


 


 

Taman Margarana


Ini adalah taman makam pahlawan untuk menghormati jasa pahlawan kemerdekaan yang gugur dalam perang puputan, 20 November 1946. Dalam perang sengit u yang tak berimbang itu pasukan laskar Bali yang dipimpin oleh Letkol I Gusti Ngurah Rai, semuanya gugur akibat gempuran udara yang dahsyat oleh tentara Belanda. Sebagai penghormatan, abu jenazah I Gusti Ngurah Rai beserta segenap pasukannya yang gugur di dalam pertempuran tersebut ditanam di sini.

    Di Candi Pahlawan ini kita dapat menyaksikan beberapa prasasti yang merupakan salinan surat dari I Gusti Ngurah Rai yang tak mau berkompromi apalagi tunduk pada Belanda. Karena pasukan I bawah komando Ngurah Rai tersebut bernama pasukan Ciung Wanara, taman makam pahlawan ini pun dikenal dengan nama Taman Makam Pahlawan Ciung Wanara.


 


 


 


 

Monumen ini seluas sembilan hektar, terbagi menjadi tiga bagian mengikiti konsep Tri Mandala yakni hulu, tengah dan hilir sebagai berikut.

1.   Dibagian hulu ( utara ) dengan luas areal empat hektar, merupakan komplek bangunan suci yang disebut Taman Pujaan   Bangsa, terdiri atas bangunan – bangunan sebagai berikut :

- Candi Pahlawan Margarana ; berdiri megah setinggi 17 meter, disini terpahat secara berangkai isi surat Jawaban I Gusti Ngurah Rai ( Pemimpin Dewan Pejuang Bali ) kepada Overste Termeulen ( Belanda ), yang  menggambarkan kebesaran jiwa perjuangan dan patriotisme bangsa Indonesia umumnyta dan masyarakat Bali khususnya.

- Pelataran Upacara ; diapit oleh dub alai peristirahatan ( dibagian timur dan barat )

- Patung Panca Bakti ; terletak dibagian selatan  pelataran upacara, setelah pinti gerbang masuk, menggambarkan persatuan dan kesatuan seluruh rakyat dalam perjuangan kemerdekaan.

- Taman Bahagia ; terletak disebelah utara dan Timur Laut Candi Pahlawan Margarana, yang terdiri dari 1372 nisan atau tugu pahlawan yang menunjukkan jumlah pejuang yang gugur di medan laga selama revolusi fisik di Bali, sebagai pahlawan perang kemerdekaan RI, termasuk sebuah nisan untuk pahlawan tidak dikenal.

- Gedung Sejarah ; terletak di sebalah Timur Candi Pahlawan Margarana, sebagai tempat penyimpanan benda – benda  sejarah perjuangan.

- Taman Suci ; berlokasi disebelah selatan gedung sejarah, merupakan tempat penyucian diri bagi para pengunjung yang  hendak melaksanakan perziarahan/kebaktian.

2.   Di bagian tengah atau di sebelah Selatan Taman Pujaan Bangsa dengan luas areal satu hektar, disebut Taman Seni Budaya, terdiri atas bangunan : wantilan, warung kopi dan rencana akan dibangun took souvenir.

3.  Dibagian Hilir ( Selatan ) dengan luas empat hektar, disebut Taman Karya Alam, dan disini direncanakan akan dibangun Bumi Perkemahan Remaja.


 


 


 

Minggu, 21 Februari 2010

FUNGSI PURA MELANTING DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT HINDU BALI

Masyarakat Hindu di Bali adalah masyarakat yang sosial religius, yang selalu berhubungan erat dengan alam Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa), sehingga banyak dijumpai pura-pura sebagai tempat pemujaan terhadap manifestasiNya yang sesuai dengan fungsinya bagi masyarakat Hindu seperti pelinggih, penunggun karang, pura dadia, sanggah kemulan, pura khayangan tiga dan lain-lain. Pura Melanting adalah salah satu pura yang bersifat fungsional sebagai tempat dari pemujaan Bhatari Melanting. Bhatari Melanting dapat disejajarkan dengan Dewa Kwera (dewanya uang) yang di Bali lebih dikenal dengan sebuah Bhatari Rambut Sedana. Adapun yang berwujud sebagai Bhatari Melanting adalah Ida Ayu Subawa yaitu putri dari Dang Hyang Nirarta yang telah berubah wujud. Pura Melanting terletak di pojok timur laut, mengarah ke pasar dan ada juga Pura Melanting itu terletak di tengah-tengah pasar. Yang memuja dan yang bertanggung jawab terhadap Pura Melanting adalah orang-orang yang terlibat didalam kegiatan pasar, baik pedagang, maupun buruh bertanggung jawab terhadap Pura Melanting beserta piodalannya.

Pura Melanting adalah termasuk aspek agama dan kebudayaan yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan masyarakat untuk menyediakan Bhoga, Upa Bhoga dan Pari Bhoga, menuju masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Pasar adalah salah satu tempat untuk beraktifitas untuk mengejar Jagathita (kebahagiaan jasmani) seperti tempat menyediakan bahan sandang, pangan dan papan dan tidak mengabaikan kepentingan rohani dengan pura Melantingnya. Dengan adanya kemajuan teknologi pasar telah banyak mengalami perubahan-perubahan baik dari sarana prasarananya namun dengan demikian juga halnya keadaan pura Melanting dari bentuk sederhana menuju bentuk yang lebih permanen. Walaupun demikian tidak merubah fungsi terhadap pura melainkan tetap mempertahankan fungsinya sebagaimana mestinya oleh masyarakat Hindu dan nilai-nilai keagamaannya sama sekali tidak luntur terbukti masih adanya kepercayaan kepada Bhatari Melanting. Hal ini pula menjadikan salah satu gaya tarik pulau Bali terhadap para wisatawan.


 

Definisi Pura Melanting

Pura Melanting adalah merupakan salah satu tempat pemujaan umat Hindu di Bali. Pura tersebut bersifat fungsional sebagai stana (pelinggih) Bhatari Melanting. Bhatari Melanting dari segi niskala sebagai kepala pimpinan "Wong Samar" yang menguasai seluruh jagat raya ini, sedangkan ditinjau dari segi rohani beliau bertugas melindungi/mengayomi para pedagang dan memberikan keselamatan warga masyarakat pada setiap Bale Banjar dan setiap pasar-pasar yang ada di Bali.


 

Arti dan Pengertian Melanting

Kata Melanting berasal dari kata mel dan anting. Kata mel berarti kebun, di samping itu kata mel berarti sifat tidak ramah, berat mulut, mel juga berarti lembab. Sedangkan kata anting berarti batu. Dari kata anting menimbulkan kata anting-anting yang artinya:

  1. Perhiasan telinga yang terbuat dari emas.
  2. Batu seperti bandul.
  3. Burung anting (nama burung).

Jadi dapat disimpulkan bahwa kata Melanting dapat dipisahkan menjadi kata "mel" dan kata "anting". Mel berarti kbun dan anting berarti bergantungan pada tali. Melanting adalah suatu tempat persembahan hasil bumi yang dipersembahkan kehadapan Ida Ayu Swabawa sebagai Bhatari Melanting (Dewa yang menguasai pasar). Pasar adalah tempat pertemuan antara penjual dengan pembeli untuk mengadakan tawar menawar (transaksi) sehingga terdapat persetujuan kedua belah pihak. Melanting adalah tempat persembahan/persembahyangan untuk menghaturkan segala hasil bumi sebagai ucapan terima kasih kehadapan Bhatari Melanting yang beristana di sana serta memohon keselamatan sehingga tidak diganggu oleh wong samar.


 

Fungsi Pura Melanting Dalam Kehidupan Masyarakat Hindu di Bali

Pengertian Pura Melanting

Pura Melanting adalah merupakan tempat para pedagang untuk memohon keselamatan, ketentraman lahir batin sehingga pada saat berdagang dapat memperoleh keuntungan sesuai dengan yang diinginkan. Pura Melanting pada umumnya didirikan di dalam setiap pasar di Bali.

Fungsi Pura Melanting Dalam Hubungannya dengan Pasar

Antara Pura Melanting dengan pasar mempunyai hubungan yang sifatnya saling tunjang menunjang sehingga terwujudnya jual beli antara para pedagang dengan pembeli baik secara langsung maupun secara tidak langsung.


 

FASILITAS HOTEL

ANDA BUTUH HOTEL DENGAN HARGA MURAH FASILITAS WAH ????





Pada dasarnya hotel menyediakan berbagai fasilitas dan pelayanan demi kenyamanan, keamanan dan kepuasan tamu hotel dan juga bagi mereka yang menggunakan fasilitas dan menerima pelayanan tersebut. Seperti diketahui, bahwa hotel tidak saja menyediakan akomodasi, tetapi juga makanan dan minuman, dan juga fasilitas serta pelayanan lainnya.
1. Fasilitas Pokok (Usaha Pokok)
a. Kamar Tidur (Bed Room)
Para petugas Kantor Depan (Receptionist dan Reservation Clerk) harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang kamar tidur yang akan disewakan seperti misalnya tentang tipe kamar tidur, harga sewa/tarif; sarana yang tersedia dan lokasi.
Kamar tidur hotel (Bed Room) dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori seperti:
1) Single Room, satu kamar tidur dengan dilengkapi satu single bed untuk satu orang.
2) Double Room, satu kamar tidur dengan dilengkapi satu double bed untuk dua orang.
3) Twin Room, satu kamar tidur dengan dilengkapi dua single bed yang terpisah masing-masing untuk satu orang dapat dihuni oleh dua orang.
4) Triple Room, bisa berupa Twin Room atau Double Room yang dapat dihuni oleh tiga orang dengan menambahkan satu extra tempat tidur.
5) Suite Room, pada umumnya suatu kamar tidur yang dilengkapi dengan sebuah double atau twin bed, ruang tamu dan dapur kecil.
Selain kategori tersebut di atas sesuai dengan sarana yang tersedia di kamar tidur dan pelayanan yang diberikan dikenal pula kategori lainnya seperti President Room, Royal Room dan lain sebagainya.

b. Rumah Makan (Restaurant)
Pada pokoknya, rumah makan adalah merupakan tempat usaha komersial yang ruang lingkup kegiatannya menyediakan hidangan-hidangan dan minuman untuk umum di tempat usahanya. Jadi dengan adanya fasilitas rumah makan, para tamu atau pengunjung lainnya dapat membeli atau menikmati makanan di tempat tersebut. Berpedoman pada sarana yang tersedia, jenis pelayanan, jenis makanan dan lain-lainnya, maka pada dasarnya restoran dapat dibedakan atas beberapa jenis.
1) Dining Room, merupakan suatu formal restaurant yang menjual berbagai jenis makanan dengan cara a la carte dan table d’hote menu. Peralatan mewah dan dekorasi lebih meriah merupakan ciri utama disamping cara penghidangan makanan a la Rusia atau Perancis.
2) Supper Club, merupakan restaurant yang khusus dibuka malam hari dengan dilengkapi berbagai hiburan dan tempat menari (berdansa), dan dengan menawarkan berbagai jenis makanan dalam a la carte menu.
3) Coffee Shop/Coffee House, merupakan informal restaurant dengan jenis makanan yang sederhana dan pelayanan yang cepat (America Service) dan biasanya dibuka selama 24 jam.
Selain ketiga jenis restoran di atas, dikenal juga “Speciality Restaurant” yang menjual makanan khusus dari negara atau daerah tertentu atau yang menggunakan cara memasak tertentu seperti Japanese Restaurant, Chinese Restaurant, French Restaurant, dan Grill Room.

c. Bar
Bar adalah merupakan tempat usaha komersial yang ruang lingkup kegiatannya menghidangkan minuman keras dan minuman lain untuk umum di tempat usahanya. Jadi dengan adanya fasilitas bar, para tamu dan pengunjung lainnya dapat membeli serta menikmati minuman di sana. Demikian pula halnya dengan Bar (Public Bar) dapat dibedakan kedalam beberapa jenis diantaranya:
1) Snack Bar, yang menawarkan jenis-jenis minuman yang sangat terbatas dan makanan kudapan (Snacks);
2) Coktail Bar, yang menawarkan berbagai jenis minuman Coctails dan diiringi alunan musik.
3) Nite Club, yang khusus dibuka malam hari dengan menawarkan berbagai minuman serta dilengkapi dengan hiburan (entertainment) dan fasilitas menari/berdansa (dance floor).

d. Room Service
Pada dasarnya, Room Service memberikan fasilitas dan pelayanan makanan dan minuman kepada para tamu hotel di kamar tidur. Fasilitas ini sangat bermanfaat bagi para tamu yang tidak sempat atau berhalangan makan atau minum baik di restoran maupun di bar.

e. Special Functions
Fasilitas ini diperuntukkan dan sangat bermanfaat bagi para tamu yang hendak menyelenggarakan pertemuan/perjamuan khusus seperti andrawina (Banquet), Komperensi dan kegiatan lainnya.

2. Fasilitas Penunjang (Usaha Penunjang)
Fasilitas penunjang yang sangat erat kaitannya dengan kebutuhan para tamu seperti:
a. Laundry dan Dry Cleaning
b. Telephone, Telegram dan Faksimile
c. Tempat Penjualan Barang-barang, Surat Kabar & Majalah, bermacam-macam karcis.

Sabtu, 20 Februari 2010

UPACARA NGABEN DI BALI

Pengertian Ngaben

Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asal-usul etimologi kata kurang tepat. Disamping ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat.

Ngaben sesunguhnya berasal dari kata "beya" artinya bekal, yakni berupa jenis upakara yang diperlukan dalam upacara Ngaben itu. Kata Beya yang berarti bekal, kemudian dalam bahara Indonesia menjadi biaya atau "prabeya" dalam bahasa Bali. orang yang menyelenggarakan beya dalam bahasa Bali disebut "meyanin". Kata Ngaben atau meyanin, sudah menjadi bahasa baku, untuk menyebutkan uppacara "sawa wedhana". Jadi sesungguhnya tidak perlu lagi diperdebatkan akan asal usul kata itu. Yang jelas ngaben atau meyanin adalah upaccara penyelenggaraan sawa (jenasah) bagi orang yang sudah meninggal.

Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya, yang disebut-sebut dalam lontar adalah "atiwa-tiwa". Kata atiwa inipun belum dapat dicari asal-usulnya, kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara sejenis ini juga kita jumpai pada suku Dayak, di Kalimantan, yang mereka sebut "tiwah". Demikian juga di tanah Batak kita dengar sebutan "tibal", untuk menyebutkan upacara setelah kematian itu.

Upacara ngaben atau meyanin, atau juga atiwa-tiwa, untuk agama Hindu di Pegunungan Tengger dikenal dengan nama "entas-entas". Kata entas mengingatkan kita pada upacara pokok ngaben Bali. Yakni tirta pangentas (air suci) yang berfungsi untuk memutuskan hubungan kecintaan Sang Atma dengan badan jasmaninya dan mengantarkan atma ke alam Pitara (alam baka).

Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, ngaben itu disebut Palebon, yang berasal dari lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Palebon artinya menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanam ke dalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.

Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut "pemasmian" dan arealnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata "tunu" yang berarti membakar. Sedangkan pemasmian berasal dari kata basmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya adalah "setra" atau "sema". Setra artinya tegal. Sedangkan sema berasal dari kata smasana yang berarti Durga. Dewi Durga yang bersthana di Tunon ini.


 

Latar Belakang Diadakan Ngaben

Manusia terdiri dari dua unsur yaitu: Jasmani dan Rohani. Menurut agama Hindu manusia itu terdiri dari tiga lapis, yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar, badan yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan astral atau badan hallus yang terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Citta, Manah, Indriya, dan Ahamkara). Antahkarana Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma.

Ketika manusia itu meninggal, Suksma Sarira dengan Atma aakan pergi meninggalkan badan. Atma yang sudah begitu lama menyatu dengan Sarira, atas kungkungan Suksma Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal badan sudah tidak dapat difungsikan, lantaran beberapa bagiannya sudah rusak. Hal ini merupakan penderitaan bagi Atma.

Untuk tidak terlalu lama Atma terhalang perginya, perlu badan kasarnya diupacarakan untuk mempercepat proses kembainya kepada sumbernya di alam. Demikian juga bagi Sang Atma perlu dibuatkan upacara untuk pergi ke alam pitra dan memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang disebut Ngaben.

Kalau upacara Ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama, badan kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang disebut bhuta cuwil, dan atmanya akan mendapatkan neraka.


 

Maksud dan Tujuan Ngaben

Setelah diketahui apa yang menjadi latar belakang upacara ngaben itu, maka dapatlah dirumuskan maksud dan tujuan upacara itu. Secara garis besarnya, ngaben itu dimaksudkan adalah :

  • Untuk memproses kembalinya atau mengembalikan unsur yang menjadikan badan atau ragha kepada asalnya di alam ini, dan
  • Untuk mengantarkan Atma ke alam Pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi (ragha sarira).

Dalam perjalanan Atma itu perlu bekal atau "beya" yang merupakan oleh-oleh bagi saudara empatnya yang sudah menunggu dalam wujud sebagai kala, yaitu: Dorakala, Mahakala, Jogor Manik, Suratma. Dengan bekal atau beya itu diharapkan Atma dapat kembali dengan selamat.

Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sasira cepat dapat kembali kepada asalnya di alam ini dan bagi atma dengan selamat dapat pergi ke alam Pitra.

Oleh karenanya, ngaben sesungguhnya tidak bisa ditunda-tunda. Mestinya begitu meningga segera harus diaben.

Agama Hindu di India sudah menerapkan cara ini sejak dulu kala. Sang Yudhistira mengabenkan para pahlawan yang gugur di medan juang di Tegal Kurusetra, seketika hanya dengan saraa "Catur wija". Para pembesar India seperti Nyonya Indira Gandhi, dalam waktu singkat sudah diaben. Tidak ada upakara yang menjelimet, hanya pperlu "Pancaka" tempat pembakaran, kayu-kayu harum sebagai kayu apinya dan tampak mantram-mantram atau kidung yang terus menerus mengalun.

Agama Hindu di Bali juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara ini. Cuma saja masih memberikan alternatif untuk menunggu sementara. Diberikan menunggu sementara, mungkin dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga, menunggu hari baik menurut sasih (bulan) dan lain-lain. tetapi jangan menunggu lewat setahun, kalau lewat bisa menjadi bhuta cuil sawa itu. Jadi sebenarnya kita di Bali hanya diberikan kesempatan tidak lewat setahun.

Sementara menunggu waktu setahun untuk diaben, sawa harus dipendhem (dikubur) di setra (kuburan). Untuk tidak menyebabkan suatu hal yang tidak diinginkan, sawa yang dipendhempun dibuatkan upacara-upacara tirtha pangentas (air suci). Dan proses pengembalian ragha sarira kepada alam akan berjalan dalan upacara maphendem ini.

Jadi tujuan upacara ngaben pada pokoknya yaitu:

  • Melepaskan Sang Atma dari ikatan duniawi.
  • Untuk mendapatkan keselamatan dan kesenangan.
  • Untuk mendapatkan sorga pagi Sang Pitra.


 

Proses Pelaksanaan Ngaben

Secara garis besarnya proses pelaksanaan upacara ngaben dapat dijelaskan sebagai berikut:

Untuk Sawa (jenasah) yang baru meninggal

  • Mabersih/Mresihin
    • Upakara yang disiapkan
      • Air bersih
      • Air kumkum
      • Kramas dan minyak rambut
      • Sigsig
      • Bablonyoh putih kuning
      • Sikapa
      • Telur ayam Bali
      • Don tuwung
      • Daun-daun: intaran, menuh
      • Kepehan waja, kepehan meka, malem.
      • Daun padma, daun terang bola
      • Monmon mirah
      • Angkeb rai putih
      • Pangulungan
      • Kain putih
      • Kwangen dengan uang kepeng 11 satu buah (ada kalanya di suatu tempat juga dijalankan kwangen pangrekan 22 buah).
      • Tirtha pembersihan
      • Papaga (Bale Padyusan)
    • Pelaksanaan memandikan sawa (jenasah):
      • Sawa digotong dari tempat meninggalnya, lalu ditaruh pada bale papaga. Pakaiannya yang terdahulu dilugar, lalu dialasi tikar dengan kain biru. Dikasih galeng bersama uang kepeng 200. Di atas sawa dipasang kain putih sebagai luluhur.
      • Pakaiannya dilugar, kemaluannya ditutup. Kalau laki ditutu dengan kain, terung bola, oleh anaknya yang perempuan. Kalau perempuan ditutup dengan daun padma oleh anaknya yang laki.
      • Sawa disiram dengan air bersih, ke sekujur tubuhnya.
      • Lalu dilaksanakan pembersihan sawa. Mula-mula mulutnya dibersihkan dengan air kekumur, lalu diberi "sigsig". Kemudian diminyaki. Setelah bersih bagian hulu, mukanya ditutup dengan prarai. Kemudian badannya dibersihkan dengan air bersih biasa. M ulai dari leher sampai dengan kakinya. Kukunya yang kotor dikerik. Setelah itu diurap dengan bablonyoh putih dilanjutkan dengan yang kuning. Sudah kedua blonyoh terpakai sawa dibersihkan kembali dengan air bersih lalu air kumkuman.
      • Setelah pembersihan lalu dilanjutkan dengan menampatkan sarana-sarana: daun intaran pada alis, pusuh menuh pada di atas hidungnya, kaca ditaruh di atas matanya, waja ditaruh di atas giginya, sikapa yang diiris-iris ditaruh di atas dadanya, bebek ditaruh di atas perutnya, malem ditaruh pada telinganya, daun terung bola ditaruh di atar kelamin pria, daun padma ditaruh di atas kelamin wanita. Kemudian disembar dengan daun terung.
      • Kakinya di itik-itik ngekapada, dengan diamustikan diisi kwangen dengan uang kepeng 11.
      • Monmon mirah dimasukkan pada mulutnya.
      • Pada masing-masing bagian tubuhnya diletakkan kwangen sebagai berikut: kwangen yang bersisi pucuk dadap ditaruh di kepala atau dahi menghadap ke bawah. Kwangen yang berisi uang kepeng 11 ditaruh di tengah-tengah susu (dada), menghadap kepala. Kwangen yang beriai uang kepeng 9 yang disertai bunga teratai ditaruh di atas hulu hati. Kwangen yang berisi kuncup bunga cempaka putih ditaruh pada tangan kanan kiri, dan dua kwangen ditaruh pada kaki kanan kiri.
      • Diberikan tirtha pembersihan dan penglukatan.
      • Setelah itu lalu digulung dengan kain putih dan tikar kalasa. Kemudian dilante dan diikat dengan tali dengan kuat.
      • Di atas penggulungan ditaruh daun telujungan, kain putih secukupnya, dan tatindih.
    • Persembahan
      • Sawa diangkat, dilempari telur ayam dari kepala menuju kakinya, anak-anak, cucu dan lain-lain lalu "masulub".
      • Sawa ditidurkan di bale. Dihaturi punjung, dan tataban satu soroh eedan.
      • Upasaksi ke surya mempersembahkan suci satu soroh dengan banten asoroh eedan, beserta lis, segau dan tepung tawar.
      • Upasaksi dihaturkan, tataban ke sawa menyusul. Keluarga yang lebih muda nyembah.
      • Setelah selesai keluarga menyuapi punjung kepada Sang mati dengan alat daun dapdap serta mempergunakan tangan kiri.
  • Pelaksanaan Pengabenan di Setra
    • Setelah dilelet dengan lante dan kain putih ditutup dengan rurub kajang, kereb sinom 7 helai dan ditaburi bunga harum serta minyak wangi kemudian saawa diusung ke setra. Yang berjalan paling muka mereka yang membawa sundih, tah mabakang-bakang, dan mereka yang menaburkan sekarura. Setelah itu baru sawa, di belakangnya para keluarga dan masyarakat desa.
    • Tiap-tiap melalui simpang empat, sawa diputar 3 kali, ini prasawya namanya, sepanjang jalan sekrura ditaburkan.
    • Setelah sampai di setra, sawa diputar lagi tiga kali ke kiri (prasawya), dan berhenti di muka pemasmian (pancaka/tempat pembakaran sawa). Anak cucuk membersihkan pemasmian itu dengan ujung rambutnya. Setelah itu diletakkan di atas pemasmian. Kajang dan Kereb sinom diambil dan dijunjung di belakang tirtha. Lante, tikar dan kain rurub bagian atas dibuka.
    • Kemudian sawa itu diperciki tirtha yakni tirtha pengelukatan, tirtha pemanah, dan tirtha pangentas lalu diikuti dengan tirtha dari saanggah pamrajan dan dalem Mrajapati.
    • Rurub kajang, kereb sinom dipasang kembali.
    • Setelah itu Sawa dibakar dengan api yang disebut: Citta Gni, yang dapat dimohon pada pendeta, atau mohon di pura Mrajapati.
    • Dalam pembakaran mayat ini harus dipergunakan kayu api yang harum seperti majegau, manengen dan lain-lain. Lante dan pengulungan dapat dibuka dan ditaruh pada kayu api di bawah sawa.
    • Setelah basmi, semua terbakar lalu dihaturi saji "geblangan". Apinya disiram dengan "toya panyeheb", disertai dengan mantram-mantram.
    • Ngasti wedhana (mengupakarakan tulang), terdiri dari:
      • Memungut galih (tulang)

        Mempergunakan sepit. Pekerjaan ini disebut "inupit" dan nyumput areng. Memungut galih yang telah disiram dengan air, mempergunakan tangan kiri, dari bawah ke atas, (Upeti) lalu diganti dengan tangan kanan atas ke bawah (sthiti), dilanjutkan dengan tangan kiri lagi dari bawah ke atas (Pralina).Galih-galih itu ditaruh pada sebuah "Senden". Setelah terkumpul disirati air kumkuman 3x, ditaburi sekarura 3x juga disertai mantra-mantra.

      • Nguyeg (menggilas) galih yang telah terkumpul pada senden setelah diisi wangi-wangian, lalu digilas (uyeg). Alas penggilasnya adalah tebu ratu, dilakukan juga dengan tangan kiri. Pekerjaan ini dilakukan pada bale Pengastrian.
      • Ngreka (mewujudkan)

        Bagian-bagian yang halus dari galih itu, diambil dengan "sidu" dan dimasukkan pada kelungah nyuh gading yang telah dikasturi. Kalungah Nyuh Gading itu lalu dikasi pakaian putih (udeng sekah) dibuatkan prarai dengan kwangen.

        Bagian galih yang kasar, direka dengan kwangen pangrekan. Di bawah disertakan lalang kalau laki-laki 54 biji, kalau perempuan 27 biji, disusuni dengan sekar sinom dan canang wangi, pakaian baru setumpuk dan tigasan putih kuning. Galih yang telah direka ini ditaruh di atas jempana (pengayutan).

      • Narpana

        Setelah selesai ngereka lalu Pendeta memujakan tarpana. Sajen Tarpana terdiri dari: nasi angkep, bubuh pirata, panjang ilang, nasin rare, plok katampil, huter-huter, dengdeng bandeng, dan kasturyan (pesucian), guru, pras, soda panganten putih kuning, daksina, lis (satu soroh eedan). Di sanggar surya dipersembahkan: suci asoroh. Dalam pelaksanaannya dilengkapi dengan: penyeneng, jerimpen, sayut pasang, jajan 4 warna yang dikukus, dan tigasan saaperadeg. Di sanggar surya dipersembahkan suci stu soroh. Upakara di pawedaan (di muka Pendeta memuja): suci, pras, daksina, periuk, kuskusan, ddan cedok pepek, lus, prayascita, dumanggala sekarura, kwangen pangrekan dan uang kepeng 66 biji. Bunga dan kwangen pebhaktian.

      • Ngirim (nganyut)

        Setelah selesai narpana yang diakhiri dengan sembah dari sanak keluarga, lalu dilanjutkan dengan upacara ngirim (nganyut). Sebelum berangkat pendeta memujakan pengiriman ini yang disertai pawisik kepada Sang Atma. Setelah selesai memberikan pawisik itu, lalu jempana sebagai pengusungan sekah dan galih yang direka diangkat, lalu mengelilingi pemasmian 3x (mapurwa daksina). Di dalam perjalanan menuju sungai atau laut, setiap menjumpai pura sekah dipamitkan dengan sembah. Perjalanan hendaknya diikuti dengan kakawin atau kidung. Setelah samapi di sungai atau laut, kain dan perhiasan lainnya diambil.

      • Mapapegat

        Upacara ini dilaksanakan di pintu masuk pekarangan rumah. Merekah yang mengantarkan ke setra, menyelenggarakan upacara mepepegat, sebagai simbol pemutusan hubungan duniawi dengan sang meninggal. Sarananya disamping banten satu soroh, adalah tali benang yang dihubungkan pada daun carang dapdap. Setelah selesai banten dihaturkan, tali benang ini dilabrak masuk hingga putus.

    Dengan demikian selesailah upacara ngaben ini.


 

Sawa yang sudah pernah Dipendhem (dikubur)

Pelaksanaannya :

Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upaccara "Ngeplugin atau Ngulapin" (memanggil roh). Pejati dan Pengulapan dijaba pura Dalem dengan sarana bebanten (sesaji):

Untuk pejati antara lain: satu soroh bebanten dengan sesantun, dan segehan.

Untuk pengulapan terdiri dari:

  • Pengulapan
  • Pengambeyan
  • Jerimpen
  • Sayut
  • Peras dengan guling itik
  • Daksina serta segehan.

Bagi mereka yang ditanam belum mencapai satu tahun dibuatkan banten "penebasan" yang terdiri dari :

  • Suci
  • Peras
  • Daksina
  • Jinah 800 kepeng
  • Beras sepuluh kulak.

Sesajen untuk Dewa Yama dan untuk Sedahan Aweci, masing-masing: Pangkonan dengan dagingnya daging babi.

Piuning ke Prajapati, dengan bantennya: satu soroh peras penyeneng dengan sesantun.

Ketika ngulapin, jemek dan penuntungan disertakan. Dan setelah selesai ngulapin dapat dibawa ke rumah.

Menggali tulang


 

Pada hari pengabenan, di pagi hari, tulang sawa yang telah dipendhem digali. Tulang itu dibersihkan dengan air bening dengan mempergunakan ujung alang-alang. Setelah bersih dikumpulkan, lalu disiram dengan air kumkuman. Selanjutnya digulung dengan kain putih dan tikar kelasa, kemudian ditutupi lagi dengan kain putih. Selanjutnya ditaruh pada rompok kecil, dipersembahkan dahar. Gulungan tulang juga dibungkus dengan daun telunjung. Tulang lalu dijaga baik-baik.

Pembakaran Tulang

Ketika hari pengabenan, jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya di bawah, jemeknya di atas. Kemudian berlaku ketentuan seperti pada ngaben yang baru meninggal. Selanjutnya Ngasti sampai Ngirim juga sama dengan ketentuan Ngaben seperti telah diuraikan di muka.


 

Ngaben bagi yang meninggal di kejauhan dan telah lama dipendhem

Pelaksanaannya:

Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan dapat dilakukan di perempatan jalan, dan bagi yang lama dipendhem yang tidak dapat diketahui bekasnya, pengulapan dapat dilakukan di jaba pura Dalem.


 

Upakara yang diperlukan:

Untuk pejati di Pura Dalem: suci, pras, daksina, panyeneng, tipat kelanan, sorohan tumpeng 4, sesantun dan segehan. Untuk pengulapan di jaba Pura Dalem atau di perempatan jalan: Pengambeyen, penyegjeg, ajengan, pras, sayut, jerimpen daksina, segehan.

Pada hari pengabenan, disiapkan tirtha (air suci) yang dibuat oleh Sang Wiku.

Tirtha-Tirtha tersebut adalah:

  • Tirtha panglukatan, pembersihan.
  • Tirtha pemanah dan
  • Tirtha pangentas

Membuat pengawak (badan semu) yang bahannya terdiri dari: Dyun berisi air, diikat dengan benang 12 iler, cendana 18 tugel (potong), kusa (batang ambengan) dan ditulisi Pranawa Om.

Peraga tersebut disiram dengan tirtha tadi berturut-turut tirtha pabersihan, pengelukatan, tirtha pamanah, tirtha pangentas dan tirtha dari sanggah pemerajan dan Dalem Prajapati. Setelah disirami tirtha, pengawak tersebut dibakar dengan kayu-kayu yang harum. Tempat pembakaran dapat dilakukan dengan tempat yang kecil, seperti senden. Tempat pembakarannya di hadapan sangagt Tutuwan, di setra. Setelah terbakar menjadi awu lalu dilumatkan, dihaluskan dengan penggilas seppotong tebu cemeng. Setelah lumas lalu dimasukkan pada kelungah nyuh gading yang dikasturi dan diisi aksara Om Kara. Lalu dibungkus dengan kojong sekah, lalu ditaruh pada jempana. Berikutnya adalah "narpana" dan "ngirim" upakara dan upacaranya sama dengan Narpana dan Ngirim bagi ngaben yang telah dijelaskan di depan. Demikian juga nganyut mapepegat dan lain-lain sama dengan Atiwa-tiwa yang lain.


 


 


 


 

CERITA RAKYAT


 

SIPUT YANG CERDIK

Siapapun tahu bahwa rusa adalah binatang yang kencang sekali larinya dan siput terkenal akan lambat jalannya. Walaupun demikian, rusa bisa dikalahkan oleh siput karena kecerdikan akalnya. Pada suatu hari si rusa ditantang untuk lari cepat oleh si siput. Tentu saja si rusa ketawa dan dengan sombongnya menjawab bahwa kalau dia kalah mak alangit akan runtuh. Siput dan rusa lalu sepakat untuk mengadakan perlombaan lari disebuah sungai. Siput telah mengatur siasatnya sedemikian rupa sehingga nanti mampu mengalahkan si rusa. Terjadilah perlombaan itu di suatu sungai. Aba-aba yang dipakai satu, dua, tiga, mulai…. Larihah rusa itu disungai tersebut. Begitu si rusa memanggil siput dia muncul di depannya. "Halo siput," "ya", muncul lagi siput di depannya. "Siput", "ya", "siput", "ya", sampailah si rusa di garis finis yang sudah disepakati sebelumnya. Tapi… si siput sudah duluan muncul. Kalahlah si rusa karena kelicikan akan si siput. Rupanya ada ratusan bahkan ribuan siput yang berjejer dibawah air di garis tempatnya lari itu. Begitu siput dipanggil, muncullah salah satu siput yang ada di bawah air itu, dan begitu seterusnya. Akhirnya menyerah kalahlah si rusa.


 


 

PENYU YANG BODOH

Monyet terkenal akan kecerdikannya dan penyu terkenal akan kebodohannya. Monyet dan penyu telah menjalin persahabatan yang baik. Namun si penyu selalu diperdayakan. Setiap bepergian si monyet selalu minta digendong. Si penyu berjalan kesana kemari dna si monyet berdiri atau tiduran di atas punggung si penyu itu. Sekali waktu si monyet ketahuan mencuri pisang dan ditangkap oleh pak tani. Petani tersebut sudah sangat marah kepada si monyet, karena setiap pisang yang kuning di kebun pak tani itu selalu dicuri dan dimakan oleh si monyet. Monyet yang tertangkap itu lalu dibawa ke rumah pak tani dan dimasukkan ke sebuah kurungan ayam. Sebentar lagi dia akan disembelih dijadikan santapan keluarga pak tain. Sedang sibuknya pak tani membuat bumbu-bumbu masakan tersebut di dapur, tahu-tahu datang si penyu menemui si monyet. Rupanya dia sudah mencarinya kemana-mana. Maklum monyet dan penyu adalah sahabat kentalnya. Tapi, apa kata si monyet kepada si penyu. "Saya akan dikawinkan dengan anak petani itu. Lihatlah pak tani di dapur sedang membuat bedak kuning agar pengantin kelihatannya tambah cakep". Karena bodoh, si penyu minta sama si monyet supaya di saja yang kawn duluan. "Monyet, saya saja yang kawin duluan, ya". "Baik kalau begitu, masuklah ke sini", kata si monyet. Si penyu masuk ke perangkap dan si monyet keluar dengan gembira, lalu dia lari entah kemana. Akhirnya dia (penyu) yang masuk ke kurungan itu dan si monyet melepaskan dirinya. Si penyu tidak tahu bahwa dia ditipu oleh si monyet. Pak tani menjadi kaget karena monyet yang ada di kurungan itu lepas, malahan ada si penyu. Jadi, pak tani bukannya membuat sate monyet, namun sate penyu. Demikian, kebodohan si penyu akhirnya dia menjadi korban kebodohannya sendiri.


 

ASAL MULA SELAT BALI (CERITA RAKYAT BALI)


 

Dahulu ada seorang Begawan bernama Sidi Mantra. Ia adalah seorang Begawan yang berbudi pekerti luhur, dalam pengetahuan agamanya dan sangat disegani oleh masyarakat di sekitarnya. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Manik Angkeran. Barangkali karena anak tunggal dan sudah ditinggal mati oleh ibunya sejak lahir maka Manik Angkeran menjadi anak yang manja. Setelah dewasa ia menjadi pemuda berandalan, pekerjaannya sehari-hari hanyalah berjudi dan menyabung ayam. Begawan Sidi Mantra sudah menasihati berkali-kali agar menghentikan kebiasaan buruknya namun Manik Angkeran tetap saja membandel. Karena sering kalah, lama-kelamaan kekayaan Begawan Sidi Mantra semakin surut dan akhirnya jatuh miskin. Namun, Manik Angkeran terus saja bermain judi.

Suatu hari, Manik Angkeran menghadap ayahnya. Dengan nada sedih, ia mohon kepada ayahnya agar sudi membayar utang-utangnya karena ia selalu dikejar-kejar oleh orang tempatnya berutang. Karena Manik Angkeran adalah anak satu-satunya, Begawai Sidi Mantra merasa kasihan kepadanya. Ia berjanji untuk membayar utang anaknya.

Dengan kekuatan bantinnya, Begawan Sidi Mantra mendapat petunjuk bahwa di sebuah gunung bernama Gunung Agung yang terletak di ujung timur terdapat harta yang melimpah. Lalu, berangkatlah Begawan Sidi Mantra ke arah timur dengan membawa genta pemujaannya.

Setelah tiba di puncak Gunung Agung, Begawan Sidi Mantra mulai mengucapkan mantra sambil membunyikan gentanya. Tak lama kemudian, keluarlah seekor naga besar bernama Naga Besukih.

"Hai, Begawan Sidi Mantra, apa maksudmu memanggilku?" "Ketahuilah Sang Besukih, kekayaanku dihabiskan oleh anakku untuk berjudi. Sekarang utangnya menumpuk dan dikejar-kejar oleh orang tempatnya berutang. Bantulah aku agar bisa membayar utang anakku!"

"Baiklah Begawan Sidi Mantra. Tetapi nasihatilah anakmu agar berhenti berjudi. Karena menurut ajaran agama berjudi adalah pekerjaan nista."

Begawan Sidi Mantra menyanggupi melaksanakan segala nasihat Naga Besukih. Dengan menggetarkan tubuhnya" keluarlah emas dan intan dari sisik sang Naga Besukih.

"Pungutlah itu Begawan Sidi Mantra! Bayar semua utang anakmu. Ingat, jangan lagi diberikan ia berjudi!"

Setelah memungut semua emas dan intan yang diberikan Naga Besukih, pulanglah Begawan Sidi Mantra ke Jawat Timur. Semua utang anaknya dibayar, seraya menasihati agar anaknya tidak lagi berjudi. Akan tetapi, nasihat ayahnya tidak dihiraukan oleh Manik Angkeran.

Tak berapa lama, utang Manik Angkeran menumpuk kembali. Seperti biasa dengan rasa sedih ia menghadap ayahnya agar sudi membayar utang-utangnya. Meskipun Begawan Sidi Mantra agak kesal, akhirnya ia berangkat juga menghadap Naga Besukih untuk mohon bantuan. Setibanya di Gunung Agung, Begawan Sidi Mantra mengucapkan mantra sambil membunyikan gentanya. Naga Besukih pun keluar dari istananya.

"Begawan Sidi Mantra, apalagi kepentinganmu memanggil aku?"

"Aduh sang Besukih, sekali lagi aku minta tolong agar aku bisa membayar utang-untang anakku. Aku sudah tidak punya apa-apa. Utang terus menumpuk. Semua nasihatku tidak diharaukannya."

"Ternyata anakmu telah membangkang. Ia tidak punya rasa hormat kepada orang tuanya. Untuk kali ini aku akan membantumu. Tapi bantuanku ini adalah bantuan terakhir. Setelah ini aku tak akan membantumu lagi."

Setelah menggerakkan tubuhnya, keluarlah emas dan permata dari sisik Naga Besukih. Begawan Sidi Mantra mengumpulkan emas dan permata itu, lalu mohon diri.

Setiba di rumahnya segera Begawan Sidi Mantra melunasi utang piutang anaknya. Manik Angkeran merasa heran karena melihat ayahnya dengan mudah mendapatkan harta yang melimpah.

"Ayah, dari manakah Ayah mendapatkan harta sebanyak itu?"

"Sudahlah, Manik Angkeran, jangan kau tanyakan dari mana Ayah mendapatkan harta itu. Berhentilah kau berjudi, sebab berjudi adalah pekerjaan hinda. Jika sekarang kamu punya utang lagi, Ayah tidak akan membantumu. Ini adalah bantuan Ayah yang terakhir."

Tak lama kemudian, utang Manik Angkeran pun menumpuk lagi. Untuk minta bantuan kepada ayahnya ia tak berani. Oleh karena itu, ia bertekad untuk mencari sumber harta itu sendiri. Dari beberapa orang kawannya, ia mendapatkan keterangan bahwa Begawan Sidi Mantra mendapatkan harta kekayaan di sebuah gunung di sebelah timur bernama Gunung Agung. Kemudian Manik Angkeran pun berangkat ke timur setelah mencuri genta ayahnya. Setibanya di Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan genta ayahnya. Naga Besukih merasa terpanggil oleh bunyi genta itu. Tetapi ia merasa heran tidak mendengar mantra yang diucapkan. Sang Naga Besukih segera muncul. Dilihatlah Manik Angkeran datang membawa genta ayahnya. Menyaksikan hal ini, Naga Besukih sangat marah.

"Hai, Manik Angkeran, ada apa kamu memanggil aku dengan genta ayahmu?"

"Sang Naga Besukih, aku menghadapmu untuk mohon bantuan memberikan ahrta, agar aku bisa membayar utang-utangku. Kalau kali ini saya tidak membayar utangku, aku akan dibunuh oleh orang-orang tempatku berutang. Kasihanilah aku," kata Manik Angkeran dengan sedih.

Menyaksikan kesedihan Manik Angkeran, Naga Besukih merasa kasihan. Ia pun berjanji membantu Manik Angkeran. Setelah memberikan nasihat panjang lebar, Naga Besukih membalikkan tubuhnya untuk mengambil harta yang akan diberikan kepada Manik Angkeran. Pada saat itu, ekor Naga Besukih masih berada di permukaan tanah, sedangkan kepala dan tubuhnya masuk ke dalam bumi.

Melihat ekor Naga Besukih penuh dengan intan berlian besar-besar, timbullah maksud jahat Manik Angkeran. Ia menghunus kerisnya lalu memotong ekor Naga Besukih. Naga Besukih meronta dan membalikan tubuhnya. Akan tetapi, Manik Angkeran telah pergi. Naga Besukih mengejar Manik Angkeran, tetapi tidak dijumpai. Yang dijumpai hanyalah bekas tapak kakinya. Dengan kekuatan yang luar biasa, Naga Besukih membakas bekas tapak kaki Manik Angkeran. Karena kekuatan Naga Besukih, Manik Angkeran yang sedang berada dalam perjalanan merasakan tubuhnya panas, lalu rebah dan hangus menjadi abu. Di Jawa Timur Begawan Sidi Mantra sedang gelisah karena anaknya menghilang. Genta pemujaannya pun tidak ada di tempatnya. Sang Sidi Mantra dapat memastikan yang mengambil gentanya adalah anaknya sendiri. Ia pun dapat memastikan anaknya pergi ke Gunung Agung untuk mencari harta.

Seketika itu, berangkatlah Begawan Sidi Mantra menuju Gunung Agung. Sesampainya di sana, dilihat Naga Besukih sedang berada di luar istananya. Dengan tergesa-gesa Begawan Sidi Mantra menegur Naga Besukih.

"Hai Sang Besukih adakah anakku Manik Angkeran datang kemari?"

"Ya, ia telah datang kemari untuk minta harta guna melunasi utang-utangnya. Ketika aku membalikkan tubuhku hendak mengambilkan ahrta, ia memotong ekorku karena tergiur oleh intan berlian yang besar-besar di ekorku. Aku telah membakarnya sampai musnah, karena anakmu tak tahu membalas budi. Sekarang apa maksud kedatanganmu Begawan Sidi Mantra?"

"Maafkanlah aku sang Besukih! Anakku Cuma satu. Karena itu aku mohon kepadamu agar anakku dihidupkan kembali."

"Demi persahabatan kita aku akan memenuhi permintaanmu, tetapi aku minta agar ekorku dikembalikan seperti semula."

"Baiklah, aku pun akan memenuhi permintaanmu." Dengan mengerahkan kekuatan batin masing-masing, Manik Angkeran pun hidup kembali. Demikian pula ekor Naga Besukih utuh seperti semula.

Setelah memberi nasihat panjang lebar kepada anaknya, Begawan Sidi Mantra pulang ke Jawa Timur. Manik Angkeran tidak dibolehkan ikut serta. Ia disuruh tinggal di sekitar Gunung Agung. Karena sudah sadar akan kekeliruannya, Manik Angkeran tunduk kepada perintah orang tuanya.

Ketika Begawan Sidi Mantra tiba di sebuah tanah genting, ditorehkannya tongkatnya ke tanah. Seketika bekas torehan itu bertambah lebar dan air laut naik menggenanginya. Kemudian terjadilah sebuah selat, yang sekarang dinamai Selat Bali.