Jumat, 01 Mei 2009

PURA TAMAN AYUN

Pura Taman Ayun terletak di Desa Mengwi, Kabupaten Badung. Jaraknya kurang lebih 18km kea rah Barat Laut Kota Denpasar. Pura ini termasuk salah satu pura yang terindah di Bali. Pura ini memiliki struktur bangunan khas Bali, yaitu berbentuk meru atau atap yang bertingkat-tingkat, juga dikelilingi oleh telaga (kolam). Kolam disini memiliki lebar hampir 10 meter. Harga tiket untuk memasuki Taman Ayun ini adalah Rp. 3000/pax.

Kompleks Pura dibagi menjadi 3 halaman yang berbeda. Yang satu lebih tinggi dari yang lainnya yang melambangkan 3 alam yaitu; alam bawah (Bhur), alam tengah (Bvah), dan alam atas (Svah). Masing-masing halaman dihubungkan oleh pintu gerbang. Halaman ketiga merupakan halaman yang dianggap paling suci, karena aktifitas persembahyangan dilaksanakan disana dan di halaman ini pula beberapa meru dan bangunan suci lainnya berada disana.

Setiap 210 hari tepatnya setiap Selasa Kliwon Medangsia, seluruh masyarakat Mengwi merayakan piodalan selama beberapa hari memuja Tuhan dengan segala manifestasiNya. Halaman pertama disebut dengan Jaba yang bisa dicapai hanya dengan melewati satu-satunya jembatan kolam dan pintu gerbang. Begitu masuk disana ada tugu kecil untuk menjaga pintu masuk dan disebelah kanannya terdapat bangunan luas (wantilan) dimana sering diadakan sabungan ayam saat upacara. Di halaman ini, juga terdapat tugu air mancur yang mengalah ke 9 arah mata angin. Sambil menuju ke halaman berikutnya, di sebelah kanan jalan terdapat sebuah komplek pura kecil dengan nama Pura Luhuring Purnama. Halaman ke dua, posisinya lebih tingi dari halaman pertama untuk masuk ke halaman ini, pengunjung harus melewati pintu gerbang kedua. Begitu masuk, pandangan akan tertuju pada sebuah bangunan aling-aling Bale Pengubengan yang dihiasi dengan relief menggambarkan Dewata Nawa Sanga. Di sebelah timur halaman ini ada satu pura kecil disebut Pura Dalem Bekak, sedangkan di pojok sebelah barat terdapat sebuah Balai Kulkul menjulang tinggi. Halaman ketiga adalah yang tertinggi dan yang paling suci. Pintu gelung yang paling tengah akan dibuka disaat ada upacara, tempat keluar masuknya arca dan peralatan upacara lainnya. Sedangkan gerbang yang di kiri kanannya adalah untuk keluar masuk kegiatan sehari-hari di pura tersebut.

SEJARAH PURA TAMAN AYUN

Berdasarkan bahasa Mengwi, pura yang sekarang biasa kita sebut Pura Taman Ayun ini, dahulunya ketika baru selesai disucikan pada tahun 1634M dinamakan Pura taman Ahyun. Taman Ahyun berasal dari kata Taman yang berarti kebun, dan kata Ahyun dari kata Hyun yang berarti keinginan Pura ini didirikan pada sebuah taman yang dikelilingi oleh kolam yang dapat memenuhi keinginan. Kata Hyun itulah yang berubah menjadi Ayun. Namun pengertian Ayun ini sedikit berbeda dari kata Hyun tersebut. Kata Ayun ini berarti indah, cantik. Jadi Taman Ayun berarti sebuah taman atau kebun yang indah dan cantik.
Pura Taman Ayun ini dibangun pada abad ke-17 tepatnya tahun 1634 oleh raja pertama Kerajaan Mengwi, Tjokorda Sakti Blambangan. Beliau merupakan dibantu oleh arsitek yang berasal dari Cina. Halaman pura ditata sedemikian indah dan dikelilingi oleh telaga. Yang kemudian dipugar pada tahun 1937 yang dihiasi oleh meru-meru yang menjulang tinggi dan megah diperuntukan baik bagi leluhur kerajaan maupun bagi para dewa yang berstana di pura-pura lain di Bali. Pura Taman Ayun adalah Pura Keluarga bagi Kerajaan Mengwi. Awalnya, pura ini didirikan karena pura-pura yang saat itu tersedia jaraknya terlalu jauh untuk dijangkau oleh masyarakat Mengwi. Maka dari itu, Sang Raja mendirikan sebuah tempat pemujaan dengan beberapa bangunan sebagai penyawangan (simbol) daripada 9 pura utama yang ada di Bali, seperti Pura Besakih, Pura Ulundanu, Pura Batur, Pura Uluwatu, Pura Batukaru, dan pura utama lainnya yang ada di Bali. Dengan lokasi yang ada di satu areal, Beliau berharap rakyat kerajaan tidak usah jauh-jauh jika ingin melakukan persembahyangan.

FUNGSI PURA TAMAN AYUN

Pura Taman Ayun dibangun dengan tiga fungsi, yaitu :
1. sebagai Pura penyawangan (Pengawatan) sehingga masyarakat Mengwi yang ingin sembahyang ke pura-pura besar seperti Pura Besakih, Pura Uluwatu, Pura Batur, Pura Batukaru, Ulundanu, dan lainnya, cukup datang ke Pura Taman Ayun ini.
2. sebagai pemersatu dari masyarakat dengan beberapa garis keturunan yang sama-sama beribadah di tempat ini.
3. pura ini memiliki fungsi ekonomi, karena kolam yang mengelilingi juga dipakai sebagai air inrigasi untuk mengairi sawah-sawah disekitar pura.
Taman Ayun ini juga dipakai sebagai tempat berkumpulnya para anggota kerajaan. Keberadaan pura ini, oleh masyarakat dan pemerintah setempat dianjurkan ke The World Heritage Center atau UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) untuk dijadikan salah satu world heritage (warisan dunia).

Para pengunjung bisa menikmati areal sekeliling pura dari ketinggian dengan menaiki bale kulkul yang berada di sebelah kiri pintu gerbang. Bagi yang gemar berfoto-foto, kori agung (gapura utama) yang berdiri megah adalah objek yang sangat cocok untuk dijadikan latar. Sedangkan bagi yang gemar berbelanja, di seberang pura terdapat beberapa pedagang yang mnjual makanan-makanan ataupun cendramata. Biasanya setiap malam minggu dan minggu siang, pura ini sering dipakai oleh orang untuk berpacaran.

Kamis, 19 Maret 2009

BEBERAPA KIDUNG

1. PURWA KANING
Purwa kaning angrip tarum
Ningwana ukir kehadang labuh
Kartika panedengin sari
Angayon tangguli ketur
Angringring jangge mure

Sukanya arja winangun
Winarna sari sampuning riris
Sumahur ingoling tangi
Rumrumning puspa priyaka
Munggwing srenganing rejeng


2. IDA RATU
Ida Ratu raking luwur
Kahula nunas lugrane
Mangda sampun titiang tandruh
Mengayat bhatara mangkin
Tityang ngaturan pejati
Canang suci lan daksina
Sarwa sampun puput
Pretingkahing saji


3. PANGREDANA
Pangredana ne keluwur
Maka pengundang Dewane
Asep menyan majegahu
Ambunnyane merik sumirik
Cenana pada mesanding
Pemendak Ida Bhetara
Anggenne diluwur
Ngaran Tiga Sakti
4. ASEP MENYAN
Asep menyan majagahu
Cenana nuwur Dewane
Mangda Ida gelis rawuh
Mijil saking lwuring langit
Sampun medabdaban sami
Maring giri meru reko
Ancangan sadulur
Sami pada ngiring



5. PUJA WALI
Puja waline ke hatur
Jalaran upa karena
Wargasari anggen nuntun
Daksina lan kukus wangi
Tetep upakara sami
Katur ring Ida Bhetara
Suweca Ida turun
Kawula sami mengasti



6. WINARNA
Winarna sirengkul petak
Haneng andekasa punanga srambi
Sidetapa sakang ginung
Siwasudha sridanta lungesira
Ngambara marga ngelayung
Mahyun marek ring Bhetara
Oryeng giri tohlangkir





7. TURUN TIRTHA
Turun tirtha saking luhur
Pemangkune manyiratan
Mekalangan muncrat mumbul
Mapan tirta amerta jati
Pahican Bhatara sami
Panglukatan dasa mala
Mangda sida lebur
Malene ring bumi



8. PENGAKSAMA
Pengaksame ne keluwur
Manunas wara nugrahene
Menawi kirang nekehatur
Agung sinempura ugi
Canange asebit sari
Mangda sweca Ida nonton
Nodya saking luwur
Mamuputan sami



9. PEMARGINE
Pemargine bamban alus
Medal ida ngejabeyang
Tedung jenglar tedung agung
Tamyang kulem lan pengawin
Tunggul sadu bilang samping
Suwaran gambelane muntab
Sampun maider ping telu
Ring panggung Ida melinggih




10. MEDAL MARING
Medal maring gedong agung
Merik sumirik gandene
Gedong menyan gedong madu
Ukir lawang ane
Mapin da lembumas anulu
Apit lawang singa wilis
Sina ib pajeng robrob
Tuwek payung pagut
Nemakta widya sari



11. TEDUN IDA
Tedun Ida saking tajuk
Malinggih ring daksinane
Daksina sampun kinajum
Masekar busana becik
Damuhe pada pengampil
Lanang wadon sami girang
Upecara tedun
Presadeg ngeriyinnin



12. PUPUH JERUM
Kidung pengundang ring Bhuta
Basa lumbrah pupuh jerum
Bhuta asih wydhi asung
Caru pesaji ne reko
Genep saha upe kara
Manut warna lawan ungguh
Sekul iwak pada bina
Olah olahan sadulur



13. JERUM II
Pengideran penguripan
Kangin panca putih mulus
Kelod siya barak mungguh
Kauh kuning pitu anggon
Kaja selem urip papat
Manca warna tengah brumbun
Akutus panguripaniya
Babhutane manut ungguh



14. JERUM III
Kaja kangin urip nenem
Yan ring warna rupa klawu
Kelod kangin urip kutus
Nasak gedang warna kawot
Kelod kauh warna kwanta
Panguripniya tetelu
Kaja kauh warna gadang
Jati tunggal urip ipun

Minggu, 15 Maret 2009

HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN

Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wukunya Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara, di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan ada di Indonesia, terutama di Jawa dan di di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kindung panji Amalat Rasma. Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama, Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan: ngawit, Bu, Ka, Dungulan Sasia Kacatur, tanggal 15, Isaka 804. Bangun Indria Buwana Ikang Bali Rajya.
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu secara meriah. Setelah Galungan itu dirayakan, tiba-tiba – entah apa dasar pertimbangannya – pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan. Selama Galunan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan yang sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar itu menyatakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek, peyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Saat melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti pawisik itu Dewi Durgha minta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon seperti tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu, disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Bhuta Kala) dari diri manusia dan lingkungan. Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu.

MAKNA FILOSOFIS GALUNGAN
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecenderungan keraksaan (asura sampad) dan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual akan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapa.
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terhindar dari segala kekacauan pikiran.
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersama dengan yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakekat Galungan adalah merayakan menang adharma.
Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar, Sugihan Jawa bermakna (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari sugihan Jawa itu merupakan Pasucian Dewa Kalinggania (penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan uapcara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista rata tawulan (oleh karenanya mereka masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata Bali dalam bahasa Sansekerta berarti dalam diri. Dan itulah yang disucikan.
Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena ia dianjurkan anyekung jnana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi”. Pada hari Anggara Wage wuku Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri kita.
Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis Wuku Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melalui dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dan meninggalkan anugrah berupa kedirghayusan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan mereka dan matirta gocara. Upacara tersebut bermakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebut dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malani kekotoran pikiran. Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksanakan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari atau tengah hari pada Dewata dan Dewa Pitara “diceritakan” kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).
Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya.

MACAM-MACAM GALUNGAN
Meskipun Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal dengan sebutan yaitu Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Galungan adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan keterangan adharma. Dalam lontar Sundarigama disebutkan “Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan”. Artinya, Galungan itu dirayakan wuku Dungulan. Jadi Galungan itu, dirayakan setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Wara dan Wuku. Kala Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan Wukunya Dungulan, saat bertemunya hari Raya Galungan.
Galungan Nadi, galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (Purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang jatuh pada bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah dan keyakinan bahwa hari purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan Purnama disebut Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.
Galungan Nara Mangsa, jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam Lontar Sundarigama yaitu sebagai berikut:
‘Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa”.
Artinya:
Bila wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih kesembilan Galungan Nara Mangsa namanya. Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama.
Nihan bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma hywa lali elingakna. Yan tekaning sasih kapitu mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yang mengkana. Tan mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9, tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngara Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yadnya manurun denira Balagadabah.
Artinya:
Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan. Demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalem (maksudnya bila oleh Balagadabah).
Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan “Dewa Mauneb bhuta turun” yang (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan Raksasa, pemakan daging, pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilangsungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak “tumpeng Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan.
Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Pelaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan dengan yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara adharma melawan dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.

GALUNGAN DI INDIA
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga. Bahkan kemungkinan besar, perayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata “Wijaya” (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “menang”.
Hari raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti perayaan Wijaya Dasani juga dilakukan Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan. Pada hari kesepuluh barulah Wijaya Dasani atau Dasara. Wijaya Dasani lebih menekan pada rasa kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan Wijaya Dasani dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewa mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksaas yang amat sakti, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik diyakini dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang sesungguhnya kesaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali, kata sakti sering diartikan sebagai kata angker, seram, sangat menakutkan.
Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.
Sedangkan upacara Wijaya Dasani pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh umat merayakan Wijaya Dasani atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Dimana-mana sebagai lambang kemenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Supla dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan dimana sudah ada memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.
Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah ada. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasani yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemeran Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan dari hari raya Wijaya Dasani adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan kekuatan yang harus dicapai oleh manusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjadi saat bahagia lahir batin.
Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. kalau kebahagiaan dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdimensi ritual dan spirit.

Selasa, 10 Maret 2009

Cerita Rakyat Bali : "Satua I PUCUNG"

Kacrita di Banjar Kawan, wewenangkon Koripan ada anak pacul ngelah pianak muani adiri madan I Pucung. Gegaenne I Pucung sing lenan teken mapikat dogen di umane, nanging ke nyalah utu pesan tangkepne mapikat, di masan padine mara embud. Dadi sing pesan kone ia taen maan kedis, dening tusing ada kedis ngalih amah, krana padine nu puyung. Dening keto, med kone ia mapikat. Jani demen kone ia teken kuluk. Nanging masih keto, sabilang nagih ngidih konyong sig pisaganne begbeg konyong ane mara lekad dogen nagih idiha. Dening konyongne ane nagih idiha nu cerik buina tonden ngedat, kadena konyongne ento buta, dadi buung dogen ia ngidih konyong. Dening keto undukne I Pucung gedeg kone ia, dening makejang kehenne tuara ada misi. Uli sekat ento tusing pesan kone ia taen kija-kija buin, begbeg nyingkrung dogen jumahne. Ping kuda-kuda kaden suba bapanne nglemekin, apanga ia nulungin ka carik, nanging masih ia tusing nyak. Dening keto gedeg kone bapanne, nanging ia tusing bani nigtig wiadin ngwelin I Pucung, krana ia suba kelih. Depina dogen kona ie jani pragat nengnenga dogenan.
Makelo-kelo demen kone ia tekan anak luh, nanging gede kone kenehne, nget putran Ida Sang Prabu Koripan kone demenina. Budi morahan teken bapanne sing kone ia juari, dening ia suba ngasen teken dewek gedeganga. Dadi ibuk pesan kehenne I Pucung ngenehang Ida Raden Galuh, mabudi ngalih ka puri tusing bani. Jani ngae kone ia daya, mangdena ia nyidaang makatang Raden Galuh.
Sedek dina anu, ka puri kone ia tangkil ring Ida Sang Prabu. Di mara ia neked di bancingah, ada kone parekan tepukina ditu lantas ia ngomong, “Ih jero parekan, nawegang tiang nunas tulung ring jerone, wekasang tiang ngapuriang, aturang jagi tangkil ring Ida Sang Prabu!”
Masaut parekane, “Inggih mangda becik antuk tiang ngaturang ring Ida Sang Prabu, jerone sapasira?”
“Aturang titiang I Pucung saking Bnajar Kawan!” Majalan lantas parekane ento ngapuriang matur ring Ida Sang Prabu, “Nawegang titiang mamitang lugra ring Palungguh Cokor I Dewa, puniki wenten kaulan Palungguh Cokor I Dewa saking Banjar Kawan, ipun jagi tangkil ring Palungguh Cokor I Dewa.” Ngandika Ida Sang Prabu, “I Pucung ento apa kone ada buatanga ia tekan nira?”
“Matur sisip tiang Ratu Dewa Agung, antuk punika tan wenten titiang uning.”
“Nah lamun keto, tunden suba ia mai!” Ngajabaang lantas parekane ngorahin I Pucung tundena ngapuriang. Majalan lantas I Pucung ngapuriang. Sasubanne neked ditu, lantas ia mamitan lugra ring Ida Sang Prabu.
“Ih to iba Pucung, apa ada buatang iba mai?”
Matur I Pucung, “Inggih matur sisip titiang Ratu dewa Agung, wenten tunasang titiang ring Cokor I Dewa.”
“Nah apa Pucung?”
“Inggih sapunapi awinan ipun pantune sane wau embud dados ipun puyung, kalih asune wau lekad dados ipun buta?”
Ngandika Ida Sang Parbu, “ento kenken nyen kaden nira awinanne, nira sing pesan nawang. Men yan cai, kenken awananne dadi keto?”
“Antuk punika tan kamanah antuk titiang. Nanging yang banggayang Cokor I Dewa asapunika kewanten, kamanahan antuk titiang gelis jaga rusak jagat druene.”
“Men jani kenken baan madaya, mangdene gumine tusing uug?”
“Inggih yan manah titiang saking tambet, becik mangkin karyanang banten peneduh aturang ring Ida Betara Dalem. Manawi wenten kasisipan Palungguh Cokor I Dewa, mangda sampunang Ida Betara banget menggah pamiduka.”
“Nah lamun keto ja keneh caine, kema tegarang neduh ka pura Dalem. Sing ada kapo pakayunan Ida Betara teken nira, nira lakar ngiring dogenan. Nah antiang dini malu akejep, nira nu nunden panyeroane ngae banten. Apang nyidaang maturan dinane jani, kadonga jani tumpek. Yan suba pragat bantene, cai men ngaturang ajak I Mangku Dalam ka Pura!”
“Inggih,” keto aturne I Pucung.
Gelisang satua, sasubane pragat bantene, majalan lantas I Pucung nyuun banten, ngojog kumah pamangkune.
“Jero Mangku, Jero Mangku, tiang nikaanga mriki ring Ida Sang Prabu, ring pura Dalem. Samalahipun banten puniki jerone kandikaang makta ka pura. Tiang mapamit dumun abosbos jaga kayeh,” aketo baana melog-melog Jero Mangku teken I Pucung, lantas ia ngenggalang ke pura Dalem tur ngenggalang macelep sig gedonge ane tanggu kelod. Sawatara ada suba apanginangan ia nongos ditu, rauh lantas Jero Mangku makta banten tur ngojog sig jalan I Pucungne ngoyong. Ditu lantas Jero Mangku ngaturang banten tur nunas teken Ida Betara mangdene gumine di Koripan karahayuan.
Sasubanne Jero Mangku suud ngantebang, ngomong lantas I Pucung uli jumahan gedonge. Mapi-mapi ia dadi Betara, kene kone munyinne, “Ih iba Bapa Mangku, nyen nunden iba mai maturan, nunas kaluputan teken nira?”
Masaur Jero Mangku, “Inggih titiang kandikaang antuk pramas Palungguh Betara, Ida Sang Prabu nunas kaluputan ring Palungguh Betara, dening pantune wau embud puyung kalih asune wau lekad ipun buta.”
Buin ngomong I Pucung, “Ih iba Bapa Mangku, nira ngiangin lakar kaluputan nanging yan Ida ngaturang okane Ida Raden Galuh.” Dening keto munyin I Pucunge kadena pangandikan Ida Betara, dadi budal lantas dane. Teked di jabaan purane mreren lantas dane di batan punyan bingine, sambilanga dane ngantiang I Pucung.
Buin akejepne pesu lantas I Pucung uli gedonge tur jagjagina Jero Mangku lantas ia matakon, “Men, sapunapi Jero Mangku, wenten minab wacanan Ida Betara?”
“Nah melah suba cai ka puri ngaturang teken Ida Sang Prabu pangandikan Ida Betara. Bapa sing ja bareng kema, reh jumah ada tamiu ngantiang.” Dening keto pangandikan Jero Mangku, dadi kendel pesan I Pucung, dening guguna pamunyin gelahne teken Jero Mangku, tur lantas ia majalan ngapuriang.
Sasubanne I Pucung nganteg di purian, ngandika raris Ida Sang Prabu, “Men kenken Pucung, ada pawecanan Ida Betara tekening iba, tegarang tuturang apang nira nawang?”
Matur I Pucung, “Inggih wenten Ratu Dewa Agung. Asapuniki wewacan Ida Betara ring titiang. Ih iba Pucung, kema aturang wecanan gelahe teken gustin ibane buatne nira ledang lakara ngicenin Ida kaluputan, mangdene gumine karahayuan, nanging yan Ida kayun ngaturang okane, Ida Raden Galuh teken nira. Asapunika pangandikan Ida Betara ring titiang. Inggih sane mangkin asapunapi pakayunan Palungguh Cokor I Dewa, dening asapunika pakayunan Ida Betara?”
“Nah yan keto pakayunan Ida Betara, anake buka nira sing ja bani tulak teken pakayunan idane. Sakewala gumine karahayuan, nira dong ngaturang dogen. Da buin mara abesik panak nirane karsaanga, kadong makadadua, nira lakar ngaturang.” Ditu ngendelang dogen kenehne I Pucung dening lakar kaisinan idepne nganggon Raden Galuh kurenan.
Matur buin I Pucung, “Inggih yan asapunika pakayunan Palungguh Cokor I Dewa, margi rahinane mangkin ratu, aturang Ida, anak Cokor I Dewa ring Ida Betara mangda gelis Ida rauh, titiang ja ngiringang Ida, jaga aturang titiang ring Ida Betara Dalem.” Ditu lantas Ida Sang Prabu ngandikain parekane ngandikaang ngaturin okane lanang Ida Raden Mantri, kandikaang ngapuriang. Ida Raden Mantri sedek kone di jabaan. Majalan lantas i parekan ka jabaan ngaturin Ida Raden Mantri. Ida Raden Mantri raris ngapuriang tangkil ring ajine.
Ngandika Ida Sang Prabu, “Cening Bagus, nah ne jani bapa ngorahin cening, buate arin ceninge karsaanga tekan Ida Betara Dalem. Bapa ngaturang i anak Galuh teken Ida Betara, dening bapa tuara bani tekening anak tuara ngenah, buina pang gumine karahayuan. Yan bapa tusing ngaturang i anak Galuh, pedas rusak gumine. Men cening kenken kayune?”
Matur Ida Raden Mantri, “Inggih yan sampun asapunika pakayunan Gur Aji, titiang tan panjang atur malih. Ledang te pakayunan Guru Aji kewanten.”
Dening aketo aturne Raden Mantri, lantas I Patih kandikaang nuunang peti lakar genah I Raden Galuh. Sasubanne Ida Raden Galuh magenah di petine, lantas petina kancinga tur seregne tegulanga di duur petine.
Ngandika Ida Sang Prabu, “Ih iba Pucung, nah ne suba pragat i anak Galuh mwadah peti, kema suba tegen petine aba ka pura Dalem aturang i anak Galuh teken Ida Betara. Ne serege di duur petine mategul. Da pesan iba nyemak serege ne, depin dogen dini, setonden ibane nganteg di pura. Buin ingetang pabesen nirane, singa iba Makita manjur nyen di jalan pejang petine di duur pundukanne tur seregne depang masih ditu mategul.”
“Inggih,” keto aturne I Pucung tur lantas ia majalan negen petine misi Ida Raden Galuh.
Beh magregotan kone ia negen petine ento. Ban kendelne bes sanget lakar maan kurenan okan Ida Sang Prabu, dadi sing kone asena baat. Di jalan nepukin lantas ia tukad ditu ia mreren di duur tukade, dening ia makita manjus. Petine pejanga kone di duur pundukane tur seregne depina masih ditu. Di makirenne ia tuun lakar kayeh, matur kone ia teken Raden galuh, “Ratu Raden Galuh Cokor I dewa driki tumun, kenakang kayune driki. Titiang ngaonin Cokor I Dewa ajebos, titiang jaga tuunan manjus, dening ongkeb pesan tan dugi antuk titiang naanang kebuse.” Dening Ida Raden Galuh mwadah peti dadi sing kone pirenga atur I Pucunge.
Suud I Pucung matur keto, tuunan lantas ia ka tukade kayeh baan klangenne maan yeh ning. Ditu rauh lantas Ida Raden Mantri sameton Ida Raden Galun nandan macan pacang anggen Ida ngentosin sametone. Sasubane Ida Raden Mantri rauh sih tongos petine ento, ngelisang raris Ida Raden Mantri nyereg petine tur kamedalang arine. Sasubanne Ida Raden Galuh medal, jani macane kone celepang Ida tur kakancing, seregne buin kone dudur petine genahang Ida. Ngelisang raris Ida Raden mantri malaib sareng Ida Raden Galuh budal ka Koripan. Buat isin petine kasilurin tusing kone tawanga teken I Pucung.
Sasubanne ia suud kayeh lantas ia menekan. Teked ba duuran dingeha kone krasak-krosok di tengah petine. Ngomong lantas I Pucung, “Inggih Ratu Raden Galuh, menggah menawi Cokor I Dewa dados krasak-krosok wau kaonin titiang manjus. Margi mangkin Cokor I Dewa budal kumah titiange, drika mangkin Cokor I Dewa mlinggih sareng titiang. Cokor I Dewa pacang anggen titiang kurenan. Samalihipun titiang sampun ngadianang Cokor I Dewa who-wohan luir ipun: buluan, salak, croring, miwah manggis. Pacang rayuan Palungguh Cokor I Dewa sampun wenten jumah titiang kagianang antuk panyeroan Palungguh Cokor I Dewa, tiang maderbe meme. Sampunang te kenten menggah Cokor I Dewa, mangkin iringa ja Cokor I Dewa budal.”
Gelisang satua majalan lantas ia I Pucung ngamulihang negen petine. Sasubanne neked jumahne, kauk-kauk lantas I Pucung ngaukin memenne, “Meme, Meme, ampakin tiang jlanan, tiang ngiring Ida Raden Galuh mulih. Tiang anak suba icena nunas Ida Raden Galuh teken Ida Sang Prabu. Matelahtelah men meme ditu jumahan icange apang kedas, krana tiang lakas nglinggihang Ida ditu, uli semengan Ida tonden ngrayunang.” Memenne tusing ja ia nawang keneh panakne, selegagan kone mara ia ningeh pamunyin panakne buka keto. Dadi ampakina dogen jlanan tur I Pucung ngenggalang macelep kumah meten, tur lantas ia ngancing jlanan uli jumahan petine pejanga kone di pasareane.
Critayang jani suba tengah lemeng tur meme bapanne suba melah pulesne pada, ditu lantas ia buing ngomong ngrumrum isin petine, “Inggih Ratu Raden Galuh, matangi Cokor I Dewa, niki sampun wengi, mriki mangkin Palungguh Cokor I Dewa merem sareng titiang!” Suud ia ngomong keto, lantas petine ento serega tur ungkabanga. Mara petine ento ungkabanga, tengkejut pesan I Pucung dening petine misi macam. Ditu lantas I Pucung sarapa teken macane. Mati lantas I Pucung.
Buin mani semenganne, dunduna lantas ia teken memenne uli diwangan, dening suba tengai ia tonden bangun. Kadena panakne sajaan ngajak Raden Galuh. Kanti ping telu kone memenne makaukan, masih sing kone sautine, lantas tinjaka kone jlananne. Ya mara mampakan jlanane, ya magroeng lantas macane jumahan. Beh apa kaden tengkejut memenne tur ia buin ngenggalang ngubetang jlanan. Ditu lantas ia gelur-gelur ngidih tulungan teken pisagane ditu. Liu pada anake nyagjagin ia tur makejang pada ngaba sikep. Ditu matianga lantas macane totonan. Sasubanne I Macan mati, mulihan lantas memenne, dapetanga panakne suba mati tur nu tulang-tulangne dogen.

SATUA BALI : "PANGANGON BEBEK"

Ada katuturan satua pangangon bebek madan Pan Meri. Sangkal ia madan Pan Meri, kerana dugase i malu ia liu gati ngelah memeri utawi panak bebek. Sakewala lacur tusing dadi kelidin, panyatakan merine mati kena gering. Enu kone masisa buin aukud sada merine ento ane paling bengil tur berag. Ento jani kapiara baan Pan Meri. Semengan nyanjaang epot Pan Meri ngenang amah-amahan merine bengil ento. Di kengkene ka telabahe abana masileman apang nyak kedasan goban merine buin abedik.

Merine bengil ento masih jemet pesan teken Pan Meri. Yening Pan Meri nuju ngarit jeg nutug di durine sambila munyi kwek….kwek…. kwek….! Bagia atine Pan Meri ngelah ubuhan jemet buka keto. Diastun tuah aukud turin bengil sakewala mawiguna pesan marep Pan Meri.

Kacerita galahe suba sanja. Pan Meri lakar ngemaang amah merine Pan Meri lantas ngaukin ri…ri….ri…ri…! Nanging merine tuara ada. Sengap paling Pan Meri mengalihin kema mai masih tuara tepukina. Pan Meri lantas nuluh telabah ngalihin sambila mangaukin, naler masih tuara ada. Kanti suba sandikala Pan Meri ngalihin tusing masih tepukina merine.

“Uduh….Dewa ratu. Dija ya merin titiange. Dadi bisa tusing ada, kija lakuna malali. Len suba sandikaon buin kejep dogen suba peteng sinah lakar tusing tepuk apa!” Uyang paling kone Pan Meri sada sedih merine tuara tepuka.

Saget nangked kone Pan Meri di tanggun telabahe beten punyan asem, ada batu gede. Ditu kocap tongose tenget tur pingit. Sedek bengong Pan Meri, jeg teka anak gede selem, siteng tur tangkahne mabulu. Paliatne nelik tur gigine rangap macaling. Pan Meri kesiab takut nagih malaib sakewala batisne lemet awakne ngetor. Anake gede selem ento maakin Pan Meri.
“Suba sandikaon adi enu masih kema mai. Apa kalih dini, Pan Meri?” keto omongne I gede selem.
Ngejer Pan Meri nyautin, “Icang ngalih merin icange. Suba sanja konden mulih. Pedalem, icang ngelah meri tuah aukud!”
“Ooh…keto. Mula saja tuni sanjane ada meri mai ngelangi. Nah jani jemakanga ja, antiang dini!”
I gede selem maselieb ka durin batune. Pan Meri mara ningeh keto prajani ilang takutne. Kendel atine buin bakata merine. Suba keto teka I gede selem ngaba meri, bulune alus awakne kedas tur jangih pesan munyine.
“ene merine, Pan Meri?”
“Tidong, meri icange anak bengil!”
Buin I gede selem mesuang meri. Jani merine mokoh tur kedas nyalang. Yen adep sinah bakal maal payu.
“Ane ene merine?”
“Tidong, meri icange berag tur bengil!”
Kacarita suba liu pesan I gede selem mesuang memeri. Sakewala Pan Meri setata ngorahang tidong, kerana mula saja merine makejang ento tidong merine Pan Meri. Suba keto I gede selem buin ngomong.
“Beh…adi makejang tidong. Lamun keto aba suba makejang merine ento!”
“Aduh…, icang tusing bani, ento tusing icang ngelah. Meri icange tuah aukud, berag tur bengil!” masaut Pan Meri.

“Ne mara jadma patut. Tumben jani kai nepuk jadma buka Pan Meri. Eda takut…, merine bengil ento mula kai ane ngaba. Nah.., duaning Pan Meri maparisolah sane patut tur tusing loba, kai jani ngemaang meri buin aukud. Melahang ngubuh apang bisa nekaang hasil. Ne jani aba merine mulih!”

Tan sipi kendelne Pan Meri nepukin merine mulih. Mare keto saget I gede selem ilang tur di samping batune gede ada meri buin aukud. Pan Meri ngaturang suksma tur nglantas mulih ngaba meri dadua.

Kacerita meri Pan Meri suba mataluh makelo-kelo mapianak. Liu pesan jani Pan Meri ngelah meri. Ia jani dadi sugih ulian madagang memeri. Keto yening dadi jadma maparisolah utawi malaksana patut, tusing loba cara Pan Meri, sinah kapaica wara nugrah sane nekaang bagia.

CERITA RAKYAT BALI : "Kura-Kura dan Angsa"

Ada sepasang Kura-Kura dan Angsa yang hidup di sebuah telaga yang bernama telaga Kumudawati. Telaga itu sangat indah serta banyak bunga-bunga berwarna-warni yang tumbuh di sana. Kura-kura yang jantan bernama Durbhuddhi dan yang betina bernama Katcapa. Angsa yang jantan bernama Cakrengga dan yang betina bernama Cakrenggi. Kedua pasang binatang itu sudah lama bersahabat.

Musim kemarau telah tiba, di telaga telah mulai mengering. Kedua angsa akan berpamitan dengan sahabatnya karena angsa tidak bisa hidup tanpa air, maka kami akan meninggalkan telaga Kumdawati ini menuju telaga Manasasaro di pegnungan Himalaya. Kura-kura tidak bisa melepaskan kepergian kedua sahabatnya itu.

Akhirnya kura-kura memutuskan untuk ikut bersama dengan angsa. Angsa kemudian mau mengajak kura-kura pergi bersama dengan dirinya yaitu dengan cara kura-kura menggigit tengah-tengah kayu dan angsa yang akan memegang ujung-jungnya. Tetapi dengan persyaratan jangan lengah, janganlah sekali-kali berbicara dan jangan melihat di bawah atau jika ada orang yang bertanya jangan sekali menjawab. Kura-kura lalu berpegangan di tengah-tengah kayu dengan mulutnya, sedangkan kedua ujung-ujungnya dipegang oleh angsa.

Setelah tepat berada di tanah lapang Wila Jenggala ada sepasang anjing srigala yang berlindung di bawah pohon mangga yang jantan bernama Si Nohan dan yang betina Si Bayan. Srigala betina melihat ke atas dilihatnya angsa terbang membawa sepasang kura-kura lalu Srigala berkata pada suaminya, ayah cobalah lihat ke atas betapa aneh angsa terbang membawa sepasang kura-kura. Srigala jantan menjawab itu bukan kura-kura namun itu adalah kotoran sapi. Demikian omongan tersebut didengar oleh kura-kura, mendengar kura-kura dibilang kotoran sapi oleh Srigala, kura-kura lalu marah dan melepaskan gigitannya pada kayu dan akhirnya kura-kura itu jatuh dan dimakan oleh srigala. Angsa tinggal dengan perasaan kecewa dan menyayangkan kenapa kura-kura tidak mau mendengarkan nasehatnya.

Senin, 09 Maret 2009

CERITA RAKYAT BALI : "JAYAPRANA DAN LAYONSARI"

Dua orang suami istri bertempat tinggal di Desa Kalianget mempunyai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh karena ada wabah yang menimpa masyarakat desa itu, maka empat orang dari keluarga yang miskin ini meninggal dunia bersamaan. Tinggalan seorang laki-laki yang paling bungsu bernama I Jayaprana. Oleh karena orang yang terakhir ini keadaannya yatim piatu, maka ia puan memberanikan dirimengabdi di istana raja. Di istana, laki-laki itu sangat rajin, rajapun amat kasih sayang kepadanya.
Kini I Jayaprana baru berusia duabelas tahun. Ia sangat ganteng paras muka tampan dan senyumnya pun sangat manis menarik.
Beberapa tahun kemudian.
Pada suatu hari raja menitahkan I Jayaprana, supaya memilih seorang dayang-dayang yang ada di dalam istana atau gadis gadis yang ada di luar istana. Mula-mula I Jayaprana menolak titah baginda, dengan alasan bahwa dirinya masih kanak-kanak. Tetapi karena dipaksan oleh raja akhirnya I Jayaprana menurutinya. Ia pun melancong ke pasar yang ada di depan istana hendak melihat-lihat gadis yang lalu lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita. Gadis itu bernama Ni Layonsari, putra Jero Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.
Melihat gadis yang elok itu, I Jayaprana sangat terpikat hatinya dan pandangan matanya terus membuntuti lenggang gadis itu ke pasar, sebaliknya Ni Layonsari pun sangat hancur hatinya baru memandang pemuda ganteng yang sedang duduk-duduk di depan istana. Setelah gadis itu menyelinap di balik orang-orang yang ada di dalam pasar, maka I Jayaprana cepat-cepat kembali ke istana hendak melapor kehadapan Sri Baginda Raja. Laporan I Jayaprana diterima oleh baginda dan kemudian raja menulis sepucuk surat.
I Jayaprana dititahkan membawa sepucuk surat ke rumahnya Jero Bendesa. Tiada diceritakan di tengah jalan, maka I Jayaprana tiba di rumahnya Jero Bendesa. Ia menyerahkan surat yang dibawanya itu kepada Jero Bendesa dengan hormatnya. Jero Bendesa menerima terus langsung dibacanya dalam hati. Jero Bendesa sangat setuju apabila putrinya yaitu Ni Layonsari dikawinkan dengan I Jayaprana. Setelah ia menyampaikan isi hatinya “setuju” kepada I Jayaprana, lalu I Jayaprana memohon diri pulang kembali.
Di istana Raja sedang mengadakan sidang di pendopo. Tiba-tiba datanglah I Jayaprana menghadap pesanan Jero Bendesa kehadapan Sri Baginda Raja. Kemudian Raja mengumumkan pada sidang yang isinya antara lain: Bahwa nanti pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya I Jayaprana dengan Ni Layonsari. Dari itu raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk I Jayaprana.
Menjelang hari perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara gotong royong semuanya serba indah. Kini tiba hari upacara perkawinan I Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa, hendak memohon Ni Layonsari dengan alat upacara selengkapnya. Sri Baginda Raja sedang duduk di atas singgasana dihadap oleh para pegawai raja dan para perbekel baginda. Kemudian datanglah rombongan I Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu harus turun dari atas joli, terus langsung menyembah kehadapan Sri Baginda Raja dengan hormatnya melihat wajah Ni Layonsari, raja pun membisu tak dapat bersabda.
Setelah senja kedua mempelai itu lalu memohon diri akan kembal ke rumahnya meninggalkan sidang di paseban. Sepeninggal mereka itu, Sri Baginda lalu bersabda kepada para perbekel semuanya untuk meminta pertimbangan caranya memperdayakan I Jayaprana supaya ia mati. Istrinya yaitu Ni Layonsari supaya masuk ke istana dijadikan permaisuri baginda. Dikatakan apabila Ni Layonsari tidak dapat diperistri maka baginda akan mangkat karena kesedihan.
Mendengar sabda itu salah seorang perbekel lalu tampak ke depan hendak mengetengahkan pertimbangan, yang isinya antara lain: agar Sri Paduka Raja menitahkan I Jayaprana bersama rombongan pergi ke Celuk Terima, untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo menembak binatang yang ada di kawasan pengulan. Demikian isi pertimbangan salah seorang perbekel yang bernama I Saunggaling, yang telah disepakati oleh Sang Raja. Sekarang tersebutlah I Jayaprana yang sangat brebahagia hidupnya bersama istrinya. Tetapi baru tujuh hari lamanya mereka berbulan madu, datanglah seorang utusan raja ke rumahnya, yang maksudnya memanggil I Jayaprana supaya menghadap ke paseban. I Jayaprana segera pergi ke paseban menghadap Sri P aduka Raja bersama perbekel sekalian. Di paseban mereka dititahkan supaya besok pagi-pagi ke Celuk Terima untuk menyelidiki adanya perahu kandas dan kekacauan-kekacauan lainnya. Setelah senja, sidang pun bubar. I Jayaprana pulang kembali ia disambut oleh istrinya yang sangat dicintainya itu. I Jayaprana menerangkan hasil-hasil rapat di paseban kepada istrinya.
Hari sudah malam Ni Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia pun bangkit dari tempat tidurnya seraya menerangkan isi impiannya yang sangat mengerikan itu kepada I Jayaprana. Ia meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan berdasarkan alamat-alamat impiannya. Tetapi I Jayaprana tidak berani menolak perintah raja. Dikatakan bahwa kematian itu terletak di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Pagi-pagi I Jayaprana bersama rombongan berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan Ni Layonsari di rumahnya dalam kesedihan. Dalam perjalanan rombongan itu, I Jayaprana sering kali mendapat alamat yang buruk-buruk. Akhirnya mereka tiba di hutan Celuk Terima. I Jayaprana sudah meras dirinya akan dibinasakan kemudian I Saunggaling berkata kepada I Jayaprana sambil menyerahkan sepucuk surat. I Jayaprana menerima surat itu terus langsung dibaca dalam hati isinya:
“ Hai engkau Jayaprana
Manusia tiada berguna
Berjalan berjalanlah engkau
Akulah menyuruh membunuh kau

Dosamu sangat besar
Kau melampaui tingkah raja
Istrimu sungguh milik orang besar
Kuambil kujadikan istri raja

Serahkanlah jiwamu sekarang
Jangan engkau melawan
Layonsari jangan kau kenang
Kuperistri hingga akhir jaman.”

Demikianlah isi surat Sri Baginda Raja kepada I Jayaprana. Setelah I Jayaprana membaca surat itu lalu ia pun menangis tersedu-sedu sambil meratap. “Yah, oleh karena sudah dari titah baginda, hamba tiada menolak. Sungguh semula baginda menanam dan memelihara hambat tetapi kini baginda ingin mencabutnya, yah silakan. Hamba rela dibunuh demi kepentingan baginda, meski pun hamba tiada berdosa. Demikian ratapnya I Jayaprana seraya mencucurkan air mata. Selanjutnya I Jayaprana meminta kepada I Saunggaling supaya segera bersiap-siap menikamnya. Setelah I Saunggaling mempermaklumkan kepada I Jayaprana bahwa ia menuruti apa yang dititahkan oleh raja dengan hati yang berat dan sedih ia menancapkan kerisnya pada lambung kirinya I Jayaprana. Darah menyembur harum semerbak baunya bersamaan dengan alamat yang aneh-aneh di angkasa dan di bumi seperti: gempa bumi, angin topan, hujan bunga, teja membangun dan sebagainya.
Setelah mayat I Jayaprana itu dikubur, maka seluruh perbekel kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka sering mendapat bahaya maut. Diantara perbekel itu banyak yang mati. Ada yang mati karena diterkam harimau, ada juga dipagut ular. Berita tentang terbunuhnya I Jayaprana itu telah didengar oleh istrinya yaitu Ni Layonsari. Dari itu ia segera menghunus keris dan menikan dirinya. Demikianlah isi singkat cerita dua orang muda mudi itu yang baru saja berbulan madu atas cinta murninya akan tetapi mendapat halangan dari seorang raja dan akhirnya bersama-sama meninggal dunia.

Senin, 02 Maret 2009

MEMESAN TIKET HOTEL DI BALI

Bagi wisatawan yang hendak berkunjung ke Bali, anda dapat memesan tiket melalui situs ini dengan mudah dan cepat. Silakan gunakan form berikut untuk mendapatkan hotel yang tepat bagi anda.






Semoga anda mendapatkan pilihan yang tepat bagi Anda dan keluarga, teman, clien, dan semua kerabat Anda.

Jumat, 27 Februari 2009

DINAMIKA SENI BUDAYA PARIWISATA BALI




1. Dinamika Seni Pertujukan Bali dalam Konteks Pariwisata Budaya

Secara umum seni pertunjukan Bali dapat dikatagorikan menjadi tiga: wali (seni pertunjukan sakral) yang hanya dilakukan saat ritual pemujaan; bebali pertunjukan yang diperuntukan untuk upacara tetapi juga untuk pengunjung; dan balih-balihan yang sifatnya untuk hiburan belaka di tempat-tempat umum. Pengkatagorian ini ditegaskan pada tahun 1971 oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (LISTIBIYA) Bali sebagai respon dari semakin merambahnya pertunjukan untuk pariwisata ke seni-seni yang sifatnya sakral. Pertemuan ini merekomendasikan agar kesenian yang sifatnya wali dan bebali tidak dikomesialkan. Bandem dan de Boer dalam bukunya Kaja and Kelod: Balinese Dance in Transition secara rinci mengklasifikasi berbagai seni pertunjukan yang ada di Bali hingga awal tahun 1980-an. Tergolong ke dalam wali misalnya: Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede; bebali seperti: Gambuh, Topeng Pajegan, Wayang Wong; dan balih-balihan diantaranya: Legong, Parwa, Arja, Prembon, dan Joged.

Penulisan secara seksama tentang Seni Pertunjukan Drama dan Tari Bali pertama dipublikasikan pada tahun 1938. Ironisnya, dan tentu tidak terlalu mengejutkan, bahwa buku ini ditulis oleh orang asing bernama Walter Spies dan Beryl de Zoete. Bukankah intervensi orang asing sudah merupakan bagian dari sejarah Bali pada umumnya? Walter Spies, peranakan Rusia-Jerman, adalah nama orang asing yang sangat terkenal di Bali. Ia datang dan menetap di Bali mulai 1927 hingga jaman pendudukan Jepeng di awal tahun 1940-an; seorang pemusik, pelukis, yang mempunyai minat yang sangat mendalam pada seni pertunjukan di Bali. Peranannya dalam awal-awal perkembangan pariwisata budaya Bali sudah tidak diragukan karena dia sangat dipercaya oleh orang asing yang datang ke Bali pada waktu itu untuk memberi pengalaman budaya, khususnya seni pertunjukan di Bali. Pertunjukan seni tradisional menjadi menu rutin bagi pengunjung di Jaman itu. Pementasan dilakukan di berbagai jaba pura (bagian luar pura) di berbagai desa di daerah sekitar ubud dan juga pementasan ke Bali Hotel milik maskapai pelayaran Belanda, KPM.
Bisa dibayangkan bahwa pertunjukan drama dan tari sering tidak sepenuhnya bisa dipahami oleh para wisatawan terutama karena faktor bahasa; disamping pada umumnya jadwal tour wisatawan yang padat. Karena itu intervensi dilakukan oleh agen perjalanan wisata agar pertunjukan bisa dipersingkat ke format yang lebih bisa dimengerti dan dinikmati oleh wisatawan. Genre-genre campuran mulai bermunculan yang mengkombinasikan genre satu dengan yang lain, misalnya Cak sebagai perpaduan cerita Ramayana dengan vokal dari Sang Hyang Dedari yang dilakukan oleh Spies dan seorang penari bernama Limbak; atau tari Barong dan Kris dengan cuplikan dari Mahabarata. Pertunjukan yang biasanya berdurasi satu jam. Disamping itu juga bermunculan tari-tari lepas (tari yang berdiri sendiri, tidak merupakan bagian dari drama); dan paket pementasan yang menggabungkan berbagai tari lepas dari genre topeng, baris, legong dan lainnya. Seni pertunjukan Bali yang sifatnya sakral biasanya memiliki nilai eksotisme dan magis sehingga dicari-cari oleh wisatawan. Ada ketergiuran para penyedia jasa pariwisata pun kemudian menawarkan paket-paket tiruan seni sakral tersebut. pertunjukan barong-rangda dengan unying (tari keris) adalah salah satu contoh klasik profanisasi yang terjadi (Lihat bandem dan deBoer, 1981:145-150).
Kiranya idealisme untuktidak mengkomersialkan tari wali dan bebali tidak bisa dijalankan sepenuhnya. Sekarang pertunjukan-pertunjukan untuk pariwista sudah mulai mempertontonkan imitasi tari Sag Hyang Dedari; Sang Hyang Jaran, Calonarang, dan sebagainya. Dan yang terakhir berkembang adalah istilah pertunjukan kemasan baru sebagai gabungan aspek prossi ritual dengan pagelaran berbagai jenis pertunjukan secara simultan seperti wayang, tari cak api, joged bungbung, dan pertunjukan selama makan malam berupa legong, beberapa tari lepas dan drama tari barong. Pertunjukan seperti ini kerap dilakukan dalam paket wisata puri (keraton) berupa royal dinner seperti yang dilakukan di puri Mengwi, Kerambitan dan ditiru oleh puri-puri lain. Hotel-hotel besar ketika menyelenggarakan konvensi atau gala dinner juga kerap memakai pertunjukan kemasan baru. Tekanan pasar untuk senantiasa menawarkan sesuatu yang baru akhirnya berpengaruh pada penciptaan jenis-jenis pertunjukan baru.

2. Dampak Pariwisata Budaya pada Seni Pertunjukan Tradisional
Disamping permasalahan komodifikasi dan penggerusan, masalah yang sering menjadi pembicaraan adalah kurangnya penghormatan atau apresiasi para penguasaha pariwisata terhadap para seniman tradisional. Disamping pembayaran yang diberi tergolong masih rendah seni pertunjukan sering diposisikan sebagai suatu pelengkap acara, biasanya makan malam di hotel/restoran. Seniman diberi fasilitas sekedarnya dan sering tidak diperkenalkan dengan semestinya. Bagaimana apresiasi mendalam bisa terjadi ketika perhatian penonton harus terbagi antara penyantap makanan dan menonton pertunjukan? Sudah menjadi rahasia umum bahwa di tempat-tempat pertunjukan pariwisata guide atau supir yang mengantar wisatawan mendapat komisi 25-50% dari harga tiket masuk. Demikian pula para makelar kesenian (perantara antara seniman dan pemesan) mengambil persentase yang tinggi dari harga yang ditawarkan sehingga upah yang diterima oleh seniman sangat minim. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya jumlah seniman/kelompok kesenian di Bali (supply yang tinggi), ditambah dengan rendahnya pengetahuan dan kemampuan manajerial kebanyakan seniman/kelompok seniman, dan karena faktor tradisi budaya ngayah (pertunjukan sebagai sebuah persembahan dan kepuasan batin) yang masih kental di kalangan penggiat seni. Posisi tawar para seniman di hadapan pengusaha pariwisata menjadi rendah, tercermin dengan adanya persaingan dalam menurunkan harga antara kelompok satu dengan yang lain.
Memang ada segelintir hotel dan tempat tontonan parisiwata yang berusaha memposisikan seni pertunjukan tradisional sebagai suatu yang istimewa kepada tamunya. Seniman yang ditampilkan adalah seniman yang berkualitas atau seniman-seniman ternama; pementasan dilakukan tidak pada saat makan; ada usaha-usaha untuk memberi informasi yang baik (pendidikan) kepada tamu; dan mereka bersedia memberi harga yang disodorkan seinman. Seniman-seniman yang sudah yakin dengan kualitasnya biasanya berani mematok harga; mereka mempunyai posisi tawar yang tinggi. Semua ini bisa terjadi tidak lepas dari adanya keberagaman jenis wisatawan yang datang. Ada wisatawan yang puas dengan sekedar melihat pertunjukan, ada juga yang mau melihat yang terbaik.
Ada usaha-usaha Pemda Bali melalui LISTIBIYA-nya untuk melindungi seniman dari eksploitasi dan sebaliknya memberi dukungan dan bimbingan kepada mereka agar menjaga atau malah meningkatkan kualitas. LISTIBIYA mengeluarkan semacam lisensi layak pentas untuk umum/pariwisata yang bernama Pramana Patram Budaya kepada kelompok-kelompok kesenian. Pemerintah terus menghimbau agar para pelaku usaha pariwisata memberi penghargaan yang lebih baik kepada seniman, baik secara finansial maupun perlakuan. SK Gubernur No.394 dan 305 tahun 1997 misalnya membuat patokan-patokan upah bagi berbagai jenis kelompok kesenian yang ada. Seberapa jauh implementasi dari upaya ini memang masih perlu ditelusuri. Penulis masih mengamati banyak pementasan yang dilakukan di hotel-hotel/restoran yang terkesan seadanya, dan membaca di media masa tentang keluhan kurangnya penghargaan praiwisata kepada para seniman. Barangkali pementasan yang rutin bisa jadi membuat sang penari mengalami kejenuhan, disamping ada anggapan bahwa wisatawan toh tidak bisa membedakan antara pertunjukan yang berkualitas dengan yang tidak.
Dampak positif pariwisata bisa dihubungkan dengan peningkatan kuantitas jenis kesenian dan jumlah seniman, dan umumnya peningkatan penghasilan. Para seniman berharap untuk dapat kesempatan pentas di hotel karena lebih sering atau rutin ketimbang pertunjukan untuk adat/upacara. Perlu diketahui bahwa seni pertunjukan tidak pernah lepas dari ritual-ritual yang dipercaya harus dilanjutkan. Ritual-ritual melibatkan beberapa bentuk pertunjukan seperti Sang Hyang, wayang lemah, topeng pajegan, pendet, berbagai jenis tari baris sakral; dan masih dalam konteks ritual tetapi juga untuk iburan seperti wayang kulit pada malam hari, calon arang, atau gambuh. Meningkatnya daya beli masyarakat secara umum memungkinkan desa adat atau banjar untuk membeli perangkat gamelan yang biasanya juga merangsang terbentuknya kelompok drama/tari.
Seorang seniman muda ternama di Bali (I Nyoman Budiarta dari Batuan-Gianyar) yang penulis sempat wawancarai memiliki pandangan yang berbeda dengan apa yang dikhawatirkan oleh para sarjana bahwa pariwisata menggerus kualitas kesenian tradisional. Pertunjukan yang rutin memberi kesempatan lebih banyak untuk berlatih sehingga menjadikan kesenian lebih kreatif dan bervariasi. Dia tidak mempermasalahkan misalnya pertunjukan yang dilakukan saat dinner karena percaya bahwa wisatawan otomatis akan lebih memperhatikan pementasan dari makanan bila pertunjukannya berkualitas. Letak permasalahan utama ada pada si seniman – apakah dia memang seniman yang berkualitas sehingga berani mematok harga atau seniman rata-rata yang mau dihargai rendah. Ia menyarankan memang perlu adanya fasilitator yang mempertemukan penguasaha pariwisata dengan seniman untuk berdialog: bahwa mereka saling membutuhkan. Pemerintah juga bisa memfasilitasi dengan membuat batasan-batasan atau rambu-rambu. Perihal tudingan bahwa telah terjadi profanisasi pertunjukan sakral dia menyarankan agar definisi sakral itu dipertegas. Menurutnya yang membuat sebuah kesenian sakral adalah ketika dilakukan untuk ritual lengkap dengan sarana upacara, banten. Dia tidak mempersalahkan kalau ada kesenian ritual yang dikemas menjadi tontonan pariwisata sejauh tidak melibatkan banten. Dia malah berpendapat bahwa seni-seni ritual atau klasik perlu dibuatkan tiruan agar tidak punah dan kalau perlu dikembangkan.
Seorang tokoh kesenian Bali generasi tua (I Gusti Agung Ngurah Supartha dari Tabanan) melihat memang terjadi penurunan kualitas atau nilai-nilai. Ini tidak terlepas dari perkembangan jaman yang semakin modern dimana banyak hal yang menyita perhatianbaik si seniman maupun masyarakat (penonton), ditambah lagi dengan berkembangnya sindrom cepat jadi, instan, tercermin pada keinginan murid-murid (termasuk orang tuanya) agar cepat bisa menari dan dipentaskan. Tantangan untuk seniman-seniman sekarang tidak seberat yang dulu. Jarang ada guru-guru yang mengajar sekeras dan seintesif dulu. Perubahan pada dinamika penonton juga berpengaruh pada penurunan kualitas. Di era sebelum tahun 1970-an seniman tertantang untuk mencapai potensi terbaiknya karena ada penonton-penonton yang datang untuk menguji. Kedekatan jarak antara penonton dan penari karena panggung yang kecil menciptakan kondisi untuk komunikasi saling apreaiasi, komunikas rasa mecingak. Sistim panggung sekarang yang memisahkan penari dengan penonton (terlebih lagi penayangan tari melalui TV) meniadakan proses mecingak tersebut.

Sabtu, 21 Februari 2009

Cerita Bahasa Bali "Ni Bawang Teken Ni Kesuna"

NI BAWANG TEKEN NI KESUNA

Ada katuturan satua anak makurenan ngelah kone pianak luh-luh duang diri. Pianakne ane kelihan madan Ni Bawang, ane cerikan madan Ni Kesuna. Ni Kesuna mula sayanganga pesan teken meme bapane. Asing-asing ane tagiha tuukina dogen, tur pesadun-pesadune misunang Ni Bawang jeg gugune dogen. Sanget pesan memene mabaat-baatan mapianak. Yening Ni Bawang maidih-idihan teken memene, pepesan tuara maan, mara-marane maan pepesan misi munyi jele. Japi keto Ni Bawang nu dogen nyulsulang dewek teken meme bapane. Jet teken andine nu dogen ia makeneh melah dening ia inget menyama buka sepite.
Sedek dina anu memene mekire luas ke peken. Laut kaukina pianakne make dadua. Cening- cening Bawang Kesuna, meme lakar ke peken, nyanan tuunang nyen padine, lantas tebuk ajak dadua dadiang baas. Reh tusing ngelah baas jakan jani. Keto omong memene. Sasubane memene mejalan ke peken lantas kaukina Ni Kesuna teken embokne. Kesuna, Kesuna ne ne suba tengai dong jalan tuunang padine. Mesaut Ni Kesuna tuunang je malu nyanan icang ngetepin. Dening keto pesautne Ni Kesuna lantas Ni Bawang menek ke glebege nuunang padi atenah. Suba tuun padine laut kaukina Ni Kesuna “kesuna, ne padine suba beten dong mai getepin. Getepin getepin ja malu nyanan icang nyemuh. Keto dogen pesaut ne Ni Kesuna. tinda tulud,
Jani padine suba kone dadi baas, laut adine tundena ngaba mulihan, nanging Ni Kesuna masih tusing nyak. Sawireh Ni Bawang anak mula ngalah, laut ia padidiana ngaba baasne mulihan.
Kacrita jani Ni Bawang suba suud matetangkid. Lantas ia ngenggalang nyemak jun abana ke tukade, lakar anggona nyuun yeh sambilanga manjus. Sasubane Ni Bawang majalan ke tukade lantas Ni Kesuna ngenggalang nguap dewekne aji oot ketungan. Suba kone keto, saget teke jani memene. Ditu lantas Ni Kesuna masadu teken memene, kene munyina “Meme meme I mbok dadi aeng pesan lengitne tusing pesan ia nyak magarapan, begbeg manjus teken meseh dogen gegaena. Batas tunden ngabaang caratan ke ketungane dogen ia tuara nyak”, keto pesadune Ni Kesuna, memene ngugu dogen.
Kacritayang mangkin Ni Bawang teke uli tukade mebrentengan ngaba pantingan tur nyuun yeh. Jeg tudinga kone teken memene sambilanga nguel. Dong nyai Bawang kene dogen bikas nyaine pragat ngresiken dewek dogen dadi tusing pesan iba madalem adi. Tulen keneh ibane cara buron tusing je pakenah jlema, ditu lantas Ni Bawang tigtiga, aduh-aduh, aduh, suut meme, keto gelurane Ni Bawang nanging memene Nyumingkinang nigtig tur mesesambatan,Ih nyai Bawang keme iba magedi da mulih mulih, kai suba met mapianak teken iba. Laut Ni Bawang ngeling sigsigan tur mesesambatan kene “Uduh meme apa puaran titiang dadi pianak setata pelih dogen yen keto sekadi pangidih memene tiang lakar magedi.” Ditu lantas Ni Bawang majalan nganteg di sisin alase tingaline teken I Crukcuk Kuning. Laut I Crukcuk Kuning matakon “Ih Bawang ngudiang nyai ngeling”, Ni Bawang nuturang paindikan dewekne sedih. I Crukcuk Kuning ningehang satuan Ni Bawang, I Crukcuk Kuning nunden I Bawang ngidem lantas sirahne, baungne, lengene, jrijine, cototina. Sehanan ane cotocina pesu mas. Mara kedat Ni Bawang tingalina awakne bek misi mas. Lantas Ni Bawang mulih ke umah dadongne. Buin mani semengane teke Ni Kesuna ngidih api ke umah dadongne, tepukina NI Bawang nganggon mas-masan. Ditu Ni Kesuna nagih ngidih teken Ni Bawang nanging tusing baanga. Ni Kesuna lantas mulih morahan teken memene, nuturang paindikan Ni Bawang nganggo mas-masan, memene tundena nigtig awakne Ni Kesuna kanti babak belur, Ni Kesuna nuutang pari laksana Ni Bawang ke tengah alase.
Kacritayang mangkin Ni Kesuna kecunduk ring Crukcuk Kuning. Ni Kesuna nuturang dewekne tigtiga baan memene. I Crukcuk Kuning mekenyem tur masuara. Nah nira jani nulungin dong kidemang matane. Ditu lantas Ni Kesuna cototina sirahne, baongne, kupingne, lengene, jrijine. Sehanan ane cototina ada pesu lelipi, lelintah, celedu, muah sekancan kumatap-kumitipe. Merasa awakne baat kadena misi mas masan ngenggalan ia kedat tingalina lantas awakne bek misi lelipi, lelintah, muah ane len-lenan. Baan takutne ia glalang-gliling pantiganga awakne kanti babak belur. Nah keto upah anake melaksana corah sekadi sesonggane ala-ulah ala tinemu ayu kinardi ayu pinanggih.

Rabu, 14 Januari 2009

OBYEK WISATA BUDAYA "MUSEUM GUNUNG API BATUR"

Obyek wisata budaya dapat diartikan bahwa suatu obyek wisata yang berkaitan dengan budaya suatu daerah seperti upacara kelahiran, tari-tari tradisional, pakaian adat, perkawinan adat, upacara laut, upacara turun ke sawah, cagar budaya, bangunan bersejarah, peninggalan tradisional, festival budaya, kain tenun tradisional, tekstil lokal, pertunjukan tradisional, adat-istiadat lokal, museum, dll.

Museum Gunung Api Batur

Merupakan tempat penyimpanan benda-benda yang mempunyai sifat sejarah dan berfungsi sebagai pusat informasi media ilmu pengetahuan seperti :
- Informasi geologi secara umum
- Sarana pendidikan tentang kegunung apian
- Sebagai obyek tujuan wisata


Profile Museum Gunung Api Batur

Museum ini berlokasi di areal parkir obyek wisata Penelokan Kintamai, Bali, Indonesia atau sekitar ± 20 Km sebelah utara kota Bangli. Museum ini dibangun tiga tahap dengan biaya ’patungan’ Pemerintah Kabupaten Bangli, Propinsi Bali, dan Pusat Departemen ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral).

Dinamakan Museum Gunung api batur karena lokasi museum yang berdekatan dengan Gunung Batur dan juga berfungsi sebagai Pos Pengamatan Gunung Berapi di Bali. Gunung Batur merupakan salah satu bentuk kekayaan alam yang dimiliki Kabupaten Bangli yang masih aktif sampai saat ini.

Gunung Batur memiliki keindahan tersendiri diantaranya adalah kaldera yang sangat indah sehingga sangat terkenal di kalangan wisatawan baik domestik maupun manca negara. Untuk memvisualisasikan keindahan gunung Batur ini maka pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah propinsi Bali dan pemerintah Kabupaten Bangli untuk mewujudkan pembangunan museum Gunung Api Batur. Pemerintah menunjuk suatu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappeda) Bangli sebagai pelaksana proyek sedangkan untuk pengelolaan Museum Gunung Api Batur diserahkan kepada profesional oleh sebuah badan yang dibentuk oleh Pemkab Bangli.

Prasarana

Prasarana berupa perhubungan, meliputi jalan raya, dan terminal, sudah dapat di tempuh menggunakan segala jenis kendaraan, dan kekurangannya adalah tidak adanya sarana angkutan umum yang menuju ke lokasi museum. Sistem telekomunikasi seperti telepon, pos, telegraf, faksimili, Hotspot Internet sudah tersedia. Keamanan, pendidikan dan hiburan pun juga dapat dinikmati.

Sarana

Transportasi, bekerjasama dengan perusahaan perjalanan transportasi seperti Travel Agent, terutama Transportasi Angkutan Wisata. Fasilitas, ruang pertemuan bagi para peneliti atau ilmuwan, Ruang koleksi yang memamerkan hasil letusan gunung batur, Game tentang gunung api yang menceritakan bagaimana awalnya letusan gunung api. Teknologi, Real Time camera dan teropong yang dipakai meneropong Gunung Agung dan Gunung Batur yang hingga kini masih mengeluarkan asap dan untuk memantau kondisi dua gunung tersebut setiap hari. volcano map, Peta gunung api Indonesia yang masih aktif dan gunung api di dunia, dengan menekan tombol yang ada pada volcano map Gunung Berapi yang masih aktif dapat diketahui.

VolcanoTalks Gunung api Batur Museum

VolcanoTalks Gunung api Batur Museum yang masih dalam proses pembangunan ini mempunyai konsep desain Geo science yang meliputi preservasi, konservasi, koleksi, sarana edukasi dan rekreasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan gunung berapi.
Hal tersebut akan dikembangkan berdasarkan nilai sejarah, kebudayaan serta mitos yang dimiliki oleh lingkungan sekitarnya.

Pembangunannya akan dilanjutkan secara bertahap dan akan disesuaikan pula dengan ciri arsitektur lokal - khas Bali. Di ruangan utama terdapat layar peta gunung berapi di Indonesia dan dunia yang mempunyai lampu-lampu kecil berwarna yang terhubung dengan panel tombol-tombol di hadapan kedua peta tersebut.

Dari fasilitas ini kita dapat mengetahui bahwa di Indonesia ternyata ada 129 gunung berapi yang semuanya masih aktif.

Rabu, 07 Januari 2009

PURA BESAKIH

Om Swastyastu,

Pura Besakih adalah pura terbesar yang ada di Bali. Pura Besakih juga sering disebut The Mother of Temple.

Lokasi
Pura Besakih terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, kabupaten Karangasem. Letak Pura ini di kaki Gunung Agung pada lereng Barat Daya pada ketinggian lebih kurang 1000 meter dari permukaan laut yang berjarak dari kota Denpasar lebih kurang 59 km. Gunung Agung yang tingginya lebih kurang 3142 meter adalah gunung yang tertinggi di bali, dan merupakan gunung berapi yang kini masih aktif. Menurut catatan yang ada, gunung Agung sudah pernah meletus lima kali yaitu pada thn 1089, tahun 1143, tahun 1189 dan terakhir pada tahun 1963, yang menimbulakn banyak korban terutama didaerah karangasem dan klungkung. Menurut perkiraan Besakih diambil dari kata "Basuki" yang artinya "Selamat" yang mana dihubungkan dengan riwayat penanaman Panca Datu (lima jenis Logam) oleh Rsi Markandeya.

Sejarah
Berdirinya Pura Besakih dengan pastinya belum dapat diapstikan, tetapi berdasarkan catatan-catat an yang terdapat dalam prasasti logam maupun lontar-lontar dapat disimpulakn bahwa Pura ini pada mulanya merupakan bangunan pelinggih kecil yang kemudian diperbesar dan diperluas secara bertahap dalam tempo yang cukup lama. Dari sumber-sumber catatan itu diketahui bahwa, pada permulaan abad ke sebelas yaitu tahun 1007 Pura Besakih sudah ada, dimana pada waktu itu masa pemerintahan Airlangga di jawa timur (1019-1042) dan empu kuturan menjadi senapati di bali, yang berkedudukan di Silayukti Padangbai kabupaten karangasem. Empu Kuturan memperbesar dan memperluas Pura Besakih dengan membangun pelinggih-pelinggih, meru-meru meniru bangunan pelinggih di jawa seperti yang ada sekarang ini. Sumber lainnya menyebutkan bahwa Maha Rsi Markandeya pindah bersama rombongan sebanyak : 8000 orang dari gunung Rawung di Jawa Timur ke Bali untuk menetap dan membuka tanah-tanah pertanian serta mendirikan Pura Besakih untuk tempat memohon keselamatan dan kesejahtraan dengan menanam Panca Datu seperti yang telah diutarakan diatas. Kemudian masa berikutnya dari jaman pemerintahan Sri Wira Kesari Warmadewa sampai masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Pura Besakih tetap mendapatkan pemeliharaan yang baik dalam arti pelinggih-pelinggihnya diperbaiki, arealnya diperluas bahkan oleh Dhang Hyang Dwijendra (Pedanda Sakti Wawu Rauh) ditambah dengan pelinggih beruang tiga yang sekarang terdapat di Pura Penataran Agung Besakih pada sekitar abad ke 16 dimasa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali. Selanjutnya sampai saat ini Pura Besakih merupakan Pura terbesar di Bali, merupakan pusat tempat ibadah bagi umat Hindu di Indonesia dan berada dalam pengelolaan Parisadha Hindu Dharma Pusat. Juga dibantu oleh yayasan Prawartaka Pura Agung Besakih, dengan bantuan dari pemerintah daerah tingkat I Bali, Pemerintah daerah tingkat II se- Bali dan semua lapisan masyarakat umat Hindu Dharma.

Struktur Pura
Kelompok Pura Besakih terdiri atas 18 buah Pura yang terletak di wilayah desa Besakih dan satu buah terletak di wilayah desa Sebudhi kecamatan Selat, kabupaten Karangasem. Adapun letak Pura-Pura itu berturut-turut dari selatan ke utara adalah sebagai berikut :

1. Pura Persimpangan.
Letaknya di desa Kedungdung, di tengah-tengah ladang kurang lebih 1,5 km. Disebelah selatan Pura Penataran Agung yang merupakan Pura kecil. Di Pura ini terdapay 4 buah bangunan dan pelinggih. Fungsinya sebagai tempat persimpangan sementara Bethara Besakih, ketika diadakan upacara melasti (mencari toya ning) ke Toya Sah, ke Tegal Suci atau ke Batu Klotok yang dilakukan tiap-tiap tahun.

2. Pura Dalem Puri
Teletak disebelah utara tikungan jalan terkahir, sebelum sampai di desa Besakih kurang lebih 1 km disebelah barat daya Pura Penataran Agung Besakih. Di Pura ini terdapat 10 bangunan termasuk pelinggih berbentuk gedong beratap ijuk. Fungsinya sebagai linggih bhatari Uma dan Dewi Durga, di Pura ini juga terdapat pelinggih Sang Hyang Prajapati sebagai penguasa roh Manusia. Disebelah utara terdapat tanah lapang yang disebut tegal Penagsar.

3. Pura Manik Mas
Terletak dipinggiran sebelah kiri jalan menuju ke Pura Penatharan Agung, jaraknya lebih kurang 750 meter disebelah selatan Penataran Agung. DiPura ini terdapat 6 buah banguna dan pelinggih, termasuk pelinggih pokoknya berbentuk gedung simpan, bertiang emapt menghadap ke barat. Fungsinya sebagai linggih Ida Ratu Mas Melilit.
4. Pura Bangun Sakti
Terletak disebelah kanan jalan menuju ke Penataran Agung dan disebelah utara Pura Manik Mas. Di Pura itu terdapat empat buah bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokok disana ialah gedong Simpan, sebagai linggih Sang Hyang Ananthaboga.

5.Pura Ulun Kulkul
Terletak lebih kurang 350 meter sebelah kiri jalan menuju Pura Penataran Agung. Di Pura ini terdapat tujuh buah bangunan dan pelinggih. Pelinggih yang terpenting disana adalah Gedong Sari beratap ijuk, sebagai linggih Dewa Mahadewa. Pura itu adalah salah satu linggih Dewa Catur Loka Phala, yaitu manifestasinya Sang Hyang Widhi yang menguasai arah barat. Warna perhiasan atau busana di Pura itu, pada waktu upacara, dipergunakan kain serba kuning.

6. Pura Merajan Selonding
terletak diseblah kiri Pura Penataran Agung, disana terdapat lima buah bangunan dan pelinggih. Di Pura itu tersimpan prasasti dan pratima-pratima, dan juga tersimpan gambelan slonding. Menurut catatan sejarah Pura itu adalah bekas bagian dari istana raja yang bernama Sri Wira Dalem Kesari. Kini Pura ini fungsinya sebagai tempat penyimpanan benda-benda Pusaka.

7. Pura Gowa
Terletak disebelah kanan jalan berhadapan dengan Pura Merajan Slonding, dikomplek itu terdapat Gowa yang besar, tetapi bagian-bagiannya sudah banyak yang runtuh. Menurut kepercayaan rakyat, Gowa itu tembus ke Gowa Lawah, disebelah timur kusamba, sebagai gowa untuk Sang Hyang Basuki. Di Pura itu terdapat empat buah pelinggih.

8. Pura Banuwa
Terletak disebelah kanan jalan dihadapan Pura Besakih, kurang lebih 50 meter dari Pura Penataran Agung. Dalam Pura itu terdapat empat buah bangunan dan pelinggih pemujaan pokok di Pura itu ditujukan kepada Dewi Sri dan setiap sasih kepitu (sekitar bulan januari). Disana diadakan upacara Ngusaba Ngeed dan Ngusaba Buluh yang bertujuan mohon kemakmuran di sawah dan di ladang.

9. Pura Mrajan Kanginan
Terletak di sebelah Timur Pura Banuwa, di Pura itu terdapat tujuh bauh bangunan dan pelinggih . Disana ada pelinggih untuk Empu Bradah.

10. Pura Hyang Aluh
Terletak disebelah barat Pura Penataran Agung yang jaraknya kurang lebih dua ratus meter. Didalam terdapat tujuh buah banguanan dan pelinggih. Pelinggih pokok pada Pura ini berbentuk Gedong untuk linggih Ida Ratu Ayu.

11. Pura Basukihan
Letaknya disebelah kanan tangga naik menuju Pura Penataran Agung, disana terdapat sepuluh buah bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya berbenuk meru dengan atapnya bertingkat sembilan, sebagai linggih Sang Hyang Naga Basuki.

12. Pura Penataran Agung Besakih
Terletak ditengah-tengah kelompok Pura yang termasuk lingkungan Pura Besakih. Komplek Pura Penataran Besakih termasuk Komplek Pura yang terbesar di Pura Besakih. Terdiri dari tujuh tingkat halaman dengan jumlah bangunan dan pelinggih seluruhnya sebanyak 53 buah. Disana terdapat meru yang besar-besar beratap tujuh tingkat 11,9,7,5,3. Pelinggih yang merupakan pemujaan pokok disana, adalah Padma Tiga sebagai linggih Sang Hyang Widhi Wasa dalam manefestasinya sebagai Tri Purusa yaitu Ciwa, Sadha Ciwa dan Parama Ciwa yang sekaligus merupakan Poros dari Pura-Pura yang lainnya.

13. Pura Batu Madeg
Terletak kurang lebih 150 meter disebelah kanan (utara) Pura Penataran Agung. Pura ini adalah komplek Pura yang besar, dan disana ada 29 buah bangunan dan pelinggih, pelinggih pokoknya berbentuk meru besar beratap ijuk beratap sebelas. Bangunan ini merupakan linggih Dewa Wisnu sebagai manefestasi Sang Hyang Widhi, yang menguasai arah sebelah utara . Warna busana di Pura tersebut adalah serba hitam.

14. Pura Kiduling Kreteg
Terletak kurang lebih 300 meter disebelah kiri (selatan) Pura Penataran Agung, daitas suatu Bukit. Didalamnya terdapat 21 buah bangunan dan Pelinggih. Pelinggih pokoknya adalah meru besar beratap tingkat sebelas sebagai linggih dewa Brahma yaitu manefestasi dari Sang Hyang Widhi sebagai penguasa arah selatan. Komplek Pura itu adalah merupakan komplek Pura yang besar hampir sama besarnya dengan komplek Pura Batu Madeg. Warna busana di Pura tersebut warna Merah.

15. Pura Gelap
Terletak kuranglebih 600 meter pada sebuah bukit sebelah timur Pura Penataran Agung. Didalamnya terdapat enam buah bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya adalah meru beratap 3 sebagai linggih Dewa Isawara yaitu manefestasi Sang Hyang Widhi sebagai penguasa arah sebelah timur. Warna busana Pura tersebut adalah warna serba putih.

16. Pura Peninjauan
Terletak kurang lebih 1 km disebelah kanan Pura Penataran Agung pada suatu bukit didalamnya terdapat duabelas buah bangunan dan pelinggih. Pelinggih palin pokok disana berbentuk meru beratap tingkat sebelas tempat Empu Kuturan memohon restu kepada Sang Hyang Widhi dalam rqangka suatu upacara di Gunung Agung.

17. Pura Pengubengan
Letaknya 1,5 km disebelah utara Pura Penataran Agung, didalamnya terdapat enam buah bangunan dan pelinggih. Fungsinya sebagai tempat "Ngayat atau ngubeng" yaitu suatu upacara permakluman kepada Sang Hyang widhi bahwa di Pura Penataran Agung akan dilangsungkan Upacara. Pelinggih pokoknya disana adalah meru beratap tingkat sebelas.

18. Pura Tirtha
Letaknya lebih kurang 300 meter disebelah timur laut Pura Pengubengan. Disana terdapat dua buah bangunan dan pelinggih dan air suci (tirtha). Jika ada upacara di komplek Pura besakih, maka di Pura inilah memohon tirtha(air suci).

19. Pura Pasar Agung
Letaknya di lereng Gunung Agung, melalui desa selat ke desa Sebudi , lalu mendaki kurang lebih empat jam mendaki ke arah utara. Pelinggihnya semua hancur waktu Gunung Agung meletus pada tahun 1963, dan menjelang karya Eka Dasa Rudra di besakih telah mulai diperbaiki secara bertahap sampai sekarang. Selain dari Pura yang disebutkan tadi disekitar Pura Besakih, masih banyak lagi Pura-Pura Pedharman, yang menjadi penyiwaan warga-warga tetapi sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dengan Pura Agung Besakih itu sendiri.

Om Santi, Santi, Santi Om

Senin, 05 Januari 2009

INDONESIA ada di BALI ???????

Om Swasyastu,

Bagi kita warga negara Indonesia, jelas judul di atas adalah SALAH BESAR!!!! Namun bagi beberapa warga negara asing, khususnya orang-orang yang senang berwisata, menikmati budaya dna keindahan alam di seluruh dunia apa yang dikemukakan dalam judul di atas pernah ada dalam pikiran mereka kalau saja mereka tidak pernah menanyakan sebenarnya Bali itu dimana sih?

Pernah dulu waktu saya masih SD, guru saya pernah bilang bahwa ada seorang guide dari Bali yang sering ditanya oleh Touris / wisatawan asing, pertanyaannya seperti ini "Indonesia itu di sebelah mananya Bali ya?". Wah saya jadi ketawa dalam hati, masak sich Indonesia ada di sebelah Barat Bali.......ha.ha.ha.ha. Tapi walaupun demikian, memang itulah yang terjadi.

Ada sebuah cerita menarik yang pernah saya alami sendiri. Waktu itu karena saya liburan sekolah di Bandung, saya memutuskan untuk pulang ke Bali dengan menumpang sebuah bus. Pada saat bus akan berangkat, ada orang asing yang menyetop bus dan langsung naik bus, katanya mau berangkat ke Bali juga. Lalu orang asing tersebut menengok ke sana-ke sini mencari kursi kosong, kebetulan waktu itu saya duduk di depan dan di samping saya kosong, maka akhirnya orang asing itu duduk di samping saya. Dan bus pun berangkat.

Untuk beberapa lama saya hanya diam saja, karena maklum bahasa Inggris saya gak begitu bagus, dan saya jadi ragu-ragu untuk ngobrol dengan orang asing itu. Tapi akhirnya saya memberanikan menyapanya dengan ucapan "Hi", dan dia juga menjawabnya. Dengan perbendaharaan kata yang kurang saya coba merangkai-rangkai kalimat bahasa Inggris, walaupun demikian kami saling mengerti apa yang sedang kami bicarakan. Sampai akhirnya saya tahu bahwa orang asing itu berasal dari Jerman (maaf nama orang asing itu saya lupa karena kejadiannya sudah lama). Katanya dia baru paginya sampai di Jakarta (bandara udara Soekarno Hatta) trus numpang bus ke Bandung (karena bus ke Bali semuanya sudah penuh), dan dari Bandung hendak meneruskan perjalanan ke Bali.

Terus saya tanya kenapa kok mau ke Bali, mister harus turun di Jakarta, bukankah bisa langsung ke Bandara Ngurah Rai Bali. Orang asing itu menjawab "Ya, saya kira Indonesia (Jakarta / Bandara Udara Soekarno Hatta) juga bagian dari BALI!, dan dengan turun di Jakarta berarti sudah ada di Bali!". Dalam hati terbersit suatu kebanggaan saya sebagai orang Bali, ternyata di negara asing, Bali lebih dikenal daripada Indonesia. Mungkin hal tersebut dikarenakan budaya, adat istiadat, dan obyek wisatanya yang selalu terjaga dari jaman dulu hingga sekarang.

Demikianlah seulas cerita tentang Bali, yang memulai blog ini. Bagi teman-teman yang ingin sharing tentang budaya bali, obyek wisata, sejarah, adat istiadat, dan lain sebagainya, ayo kita tuliskan pendapat kita dalam blog ini.

Om Shanti Shanti Shanti Om